Oleh : Heri Setiyono,
S.Pd
Di masa pandemi ini,
anak-anak sekolah belajar di rumah. Tidak
terkecuali Navis. Sayangnya Navis tidak pernah percaya jika ibunya yang
mengajarinya. Maka, selalu ramailah rumah itu dengan teriakan amarah sang ibu
dan teriakan Navis yang selalu melawan.
“Ahh, bagaimana kau
ini!” Kata Ibunya, “perkalian sederhana saja tidak becus. Bagaimana besok bisa
kau bantu Ibumu ini berdagang?” Nada emosinya makin meninggi karena sudah
kesekian kali diajari.
Anak kecil itu masih
saja sesenggukan dengan terus berusaha mengerjakan. Tangan kirinya memegang kepala
dan meremas rambutnya.
Belum bisa juga. Akhirnya
sang Ibu menyerah, ditinggalkannya Navis ke teras, tempat dagangan pecel,
gado-gado dijajakan. Diambilnya segenggam kacang tanah goreng, ditaruhnya dalam
cobek dan mulai mengulek dengan perasaan marah. Pelampiasan seperti ini hampir
dilakukannya setiap hari, semenjak sekolah tidak bisa dilaksanakan dengan
pembelajaran tatap muka.
Sebenarnya orang tua
Navis cukuplah sabar, setiap hari tugas yang diberikan guru melalui pesan
whatsapp grup dibantunya untuk diselesaikan. Ditemaninya anaknya setiap belajar
di sela-sela berjualan. Kondisi ekonomi yang kekurangan diperparah menjadi
sulit karena suami hanya digaji separuhnya dari pekerjaan, membuat amarah cepat
tersulut. Sedangkan anaknya yang selalu melawan dinasehatipun masih saja
melawan, membuatnya makin tidak nyaman menjalani hari.
Hanya melampiaskan
kepada pekerjaan rumah, bersih-bersih, dan sekedar berjualan menambah
pendapatan bisa sedikit melegakannya. Navis membutuhkan waktu yang lebih lama
untuk belajar, terlebih soal matematika. Kesabaran itulah yang sering tidak
terkawal.
“Nanti, kalau bapakmu
pulang, minta ajarilah sama bapakmu.” Kata perempuan itu sembari masih saja
menggilas kacang-kacang itu dengan munthu. “Biar bapakmu juga tahu susahnya
mengajarimu.” Katanya.
Entah mengapa ia begitu
marah beberapa waktu lalu. Apakah karena pertengkaran denga suaminya semalam. Ia
merasa begitu. Yang jelas sekarang ia menyesalinya. Namun bingung bagaimana
mengungkapkan penyesalan itu kepada anaknya. Sedangkan Navis masih sesenggukan
tidak juga meledak tangis di dirinya. Anak itu memang sosok tangguh, keras
kepala dan susah dinasehati persis seperti Bapaknya.
…
Di sebuah taman wisata
yang hampir sama sekali tidak ada pengunjung, Diman menyesap kopi ditangannya.
Ia mengingat pertengkaran dengan isterinya semalam. Tentang penyesalan mengapa
mengatakan kepada isterinya bahwa ia tak membantu sama sekali dan menambah
beban dengan mengutang ke Bu Haji utuk modal usaha.
Ia menyesali jika telah
mengatakan sesuatu yang menyinggungnya, sedangkan isterinya berusaha membantu
mencari makan sehari-hari. Gajinya sebagai tukang sapu dan perawat taman tidak
lagi sama. Tidak ada lagi pengunjung meski taman wisata itu telah buka membuat
gaji tidak bisa dibayarkan lagi. Gaji dua bulan lalu pun baru dibayar separuh
dan separuhnya lagi entah kapan bisa dilunasi.
Ia menyesap lagi
kopinya. Semakin pahit. Semakin ia larut dalam penyesalan dan kebingungan.
…
Navis masih berusaha
mengerjakan tugasnya. Ia pernah diberi pesan dari bapaknya, bahwa keadaan
sekarang tidak akan lagi sama. Semuanya akan berbeda. Kehidupan mereka munkin
tidak lagi menyenangkan lagi berat. Navis tidak mengerti, tapi dari nada bicara
bapaknya ia merasakan energy untuk teguh dan tabah. Hanya dua rangkai kata yang
bisa ia ingat dan pahami betul, ia harus
belajar dan belajar.
Ibunya tidak bisa
mengajarinya dengan baik. Cara yang diajarkan tidak bisa dimengerti. Sedangkan ia
diberi nasihat saja tanpa diberikan kesempatan waktu mencoba. Ia terkadang
melawan ibunya dengan agresi kata-kata yang tidak semestinya. Navis menyesali
perbuatannya, namun ketika mendekati Ibunya Ibunya malah makin galak.
Karenanya Navis menarik
diri dan enggan lagi berkomunikasi dengan Ibunya. Ibunya pun kini lebih sibuk
dari sebelumnya. Lelah, pasti. Selain pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya
ia harus berjualan dan terkadang berkeliling menjajakan dagangannya.
Rumah menjadi terasa
berudara demikian sesak. Ketidaknyaman membuat suasana makin tidak
menyenangkan. Navis ingin selalu bermain ke luar jadinya.
Padahal ia sangat ingin
berada di rumah dengan Ibunya yang bisa lebih sabar mengajarinya dengan penuh perhatian
dan bapaknya yang empati mendengarkan ceritanya. Namun hanya angan sepertinya
semua tidak akan lagi sama.
…
Heri Setiyono, S.Pd,
NPA PGRI 10094000266
0 Komentar