Oleh : Heri Setiyono,
S.Pd
Kampung yang sepi di
tengah pulau. Tiada yang mengetahui selain kaum pencari kesejatian diri yaitu
para petualang dan pendaki. Kecil saja kampung itu. Berada di sebuah pegunungan
yang konon akan mendisrupsi imajinasi setiap orang yang memasukinya.
Dahulu kampung itu
hanyalan hutan dengan segala keangkerannya. Namun setelah masuknya bangsa
pelaut Spanyol berganti bangsa kompeni, Belanda, hutan dan hunian di sekitar
pulau tersingkir dan terberangus akibat rentetan perang tak berkesudahan. Beberapa
keluarga pejuang berlarian menyelamatkan diri, mendaki puncak gunung. Bersembunyi dalam gelap
hutan dan mendirikan perkampungan yang berusaha mempertahankan eksistensinya
hingga sekarang.
…
Di
sebuah café, Diman baru saja keluar, di kantongnya berisi beberapa uang ratusan
rupiah hasil menjual kopi “green bean” olahan dari kebunnya. Ia keluar, berdiri
di tepian jalan. Lampu led kuning billboard iklan rokok menyinarinya. Ia menunggu
sebuah angkutan umum lewat di depannya.
Dalam
benaknya muncul sosok isterinya.
“Pak,
tadi Bos Badu datang menagih hutang.” Kata isterinya yang lekat diingatan. “ Ia
bersikeras jika besok belum juga kita bayar beserta bunganya, lahan kebun kopi
kita mau diambilnya.”
Diman
mengepalkan tangan. Ia mengingat jelas bagaimana kekesalannya terhadap nasib
yang membuatnya menghutang kepada lintah darat.
“Besok
si eneng juga harus bayar kuliah pak…” Kembali sosok isterinya hadir. Mengusik.
Kebutuhan ekonomi dan kondisi kepepetnya membuat hidupnya serba salah.
Ia
makin jengkel tatkala ia mengingat Bos Badu mengancam jika tidak segera di
lunasi maka si eneng harus mau dikawininya jika tidak mau lahan kebunnya
diambil paksa.
…
Kampung terpencil itu
memiliki sekolah di puncak gunung. Tepat di puncaknya. Pada masanya dahulu kampung
itu pernah menjadi perhatian pemerintah. Sehingga segala fasilitas dibangun. Dan
dirujuk menjadi kampung wisata, terlebih terdapat berbagai macam curug atau air
terjun di sekitarntya.
Tetapi pembangunan
kampung itu tidak lebih dari awal kehancuran yang sebenarnya. Orang-orang dari
ibu kota berdatangan, yang awalnya mencari hiburan dengan rekreasi berubah
tujuan. Tanah-tanah dibeli karena memang sangat murah pada saat itu, dan
sekolah belum menjadi prioritas hak hidup mereka, sehingga kebodohan masih
bercokol dalam kepala.
Kini tidak ada lagi warga lokal kampung itu
yang memiliki tanah sendiri. Untuk bertahan hidup mereka menjadi buruh-buruh di
perkebunan yang dahulu tanah miliknya sendiri. Ironi.
…
Diman
masih menunggu angkutan umum. Dirogohnya uang dalam saku celana. Jumlah yang
baru cukup untuk membayar uang spp kuliah anaknya. Diman menghela nafas. Setidaknya
anaknya akan masih bisa bersekolah. Diingatnya betul-betul kala semasa sekolah
dasar dahulu. Di sebuah sekolah puncak gunung.
“Kalian
harus rajin belajar dan sekolah, jangan putus sekolah, sekolah menjadikan kalian
cerdas. Maka teruslah sekolah, paling tidak sembilan tahun, sampai sekolah
menengah.”
Begitulah
kata Pak Guru Tuharto. Guru dari Diman yang didatangkan dari pulau jawa karena
tidak ada guru di daerahnya. Adapun enggan mengajar di sekolah yang hanya bisa
memberikan gaji berupa sekaleng gabah atau sebungkus kopi.
Nyatanya
benar adanya. Diman merasakan bahwa hidupnya sering diperdaya. Ia tidak
menamatkan sekolah dasarnya. Melanjutkan ke sekolah menengah bahkan tidak ada dalam
angannya. Yang ia tahu dulu bisa menulis dan membaca sudah cukup. Maka keluarlah
Diman dari sekolah ketika kelas tiga, ketika sudah bisa membaca dan menghitung
angka, meski menulis masih seperti cekeran ayam.
Tidak
hanya Diman. Hampir semua anak di kampungnya tidak menamatkan sekolah dasar
yang tamat sekolah dasar pun kadang hanya perempuan dan tidak melanjutkan ke
jenjang lebih tinggi karena seusai sekolah dasar kebanyakan dipersunting dan
menikah muda.Termasuk isterinya Diman yang dinikahinya di usia empat belas tahun
sedang ia sendiri enam belas tahun.
…
Waktu melesat cepat
secepat membaca paragraf di cerita ini.
Kini tahun 4021. Segalanya
tampak sudah berubah. Semuanya. Kampung yang hijau dengan hutan, sungai,
gunung, kebun, sawah dan ladang hanyalah gambaran visual dalam proyeksi
hologram.
Sekolah sudah tidak
diperlukan lagi. Sebab segala ilmu pengetahuan disuntikkan langsung dalam otak
semenjak janin dalam kandungan. Itupun masih dianggap ketinggalan jaman karena
janin tidak lagi dalam kandungan namun dibiakkan dalam preparat tabung kaca. Persis
seperti di cerita manga-manga.
Manusia pekerja semakin
tiada. Apalagi para buruh. Tenaga manusia dianggap kurang efisien dan berisik
serta terlalu mudah bereproduksi. Segalanya digantikan robot. Bahkan orang-orang
pemerintahan, polisi dan segala yang berkaitan dengan tata kelola negara sudah
digantikan dengan robot yang semakin hari, semakin memperbaiki diri hingga mampu terlepas dari bergantung kepada
manusia dan berpikir penciptanya adalah mahluk penuh kesalahan yang patut
dimusnahkan.
Manusia hanya
tertinggal beberapa populasi yang bisa dhitung jari. Bersembunyi dalam tanah
dan beberapa berevolusi menjadi monster seperti zombie karena kurang mendapat
sinar matahari. Beberapa kembali menjadi manusia-manusia yang lebih purba
pengetahunnya dikarenakan otaknya mengecil,
tidak pernah digunakan.
Namun sekolah di atas
gunung itu masih ada. Seolah waktu berhenti di sana. Dan masih saja tulisan
wajib belajar masih menghiasi dindingnya. Namun siapalah yang akan membaca,
karena tulisan itu sudah dianggap tulisan purbakala.
…
Heri Setiyono, S.Pd
NPA PGRI 10094000266
0 Komentar