Disrupsi Imajinasi

 



Oleh : Heri Setiyono, S.Pd

 

Kampung yang sepi di tengah pulau. Tiada yang mengetahui selain kaum pencari kesejatian diri yaitu para petualang dan pendaki. Kecil saja kampung itu. Berada di sebuah pegunungan yang konon akan mendisrupsi imajinasi setiap orang yang memasukinya.

Dahulu kampung itu hanyalan hutan dengan segala keangkerannya. Namun setelah masuknya bangsa pelaut Spanyol berganti bangsa kompeni, Belanda, hutan dan hunian di sekitar pulau tersingkir dan terberangus akibat rentetan perang tak berkesudahan. Beberapa keluarga pejuang berlarian menyelamatkan diri,  mendaki puncak gunung. Bersembunyi dalam gelap hutan dan mendirikan perkampungan yang berusaha mempertahankan eksistensinya hingga sekarang.

Di sebuah café, Diman baru saja keluar, di kantongnya berisi beberapa uang ratusan rupiah hasil menjual kopi “green bean” olahan dari kebunnya. Ia keluar, berdiri di tepian jalan. Lampu led kuning billboard iklan rokok menyinarinya. Ia menunggu sebuah angkutan umum lewat di depannya.

Dalam benaknya muncul sosok isterinya.

“Pak, tadi Bos Badu datang menagih hutang.” Kata isterinya yang lekat diingatan. “ Ia bersikeras jika besok belum juga kita bayar beserta bunganya, lahan kebun kopi kita mau diambilnya.”

Diman mengepalkan tangan. Ia mengingat jelas bagaimana kekesalannya terhadap nasib yang membuatnya menghutang kepada lintah darat.

“Besok si eneng juga harus bayar kuliah pak…” Kembali sosok isterinya hadir. Mengusik. Kebutuhan ekonomi dan kondisi kepepetnya membuat hidupnya serba salah.

Ia makin jengkel tatkala ia mengingat Bos Badu mengancam jika tidak segera di lunasi maka si eneng harus mau dikawininya jika tidak mau lahan kebunnya diambil paksa.

Kampung terpencil itu memiliki sekolah di puncak gunung. Tepat di puncaknya. Pada masanya dahulu kampung itu pernah menjadi perhatian pemerintah. Sehingga segala fasilitas dibangun. Dan dirujuk menjadi kampung wisata, terlebih terdapat berbagai macam curug atau air terjun di sekitarntya.

Tetapi pembangunan kampung itu tidak lebih dari awal kehancuran yang sebenarnya. Orang-orang dari ibu kota berdatangan, yang awalnya mencari hiburan dengan rekreasi berubah tujuan. Tanah-tanah dibeli karena memang sangat murah pada saat itu, dan sekolah belum menjadi prioritas hak hidup mereka, sehingga kebodohan masih bercokol dalam kepala.

 Kini tidak ada lagi warga lokal kampung itu yang memiliki tanah sendiri. Untuk bertahan hidup mereka menjadi buruh-buruh di perkebunan yang dahulu tanah miliknya sendiri. Ironi.

Diman masih menunggu angkutan umum. Dirogohnya uang dalam saku celana. Jumlah yang baru cukup untuk membayar uang spp  kuliah anaknya. Diman menghela nafas. Setidaknya anaknya akan masih bisa bersekolah. Diingatnya betul-betul kala semasa sekolah dasar dahulu. Di sebuah sekolah puncak gunung.

“Kalian harus rajin belajar dan sekolah, jangan putus sekolah, sekolah menjadikan kalian cerdas. Maka teruslah sekolah, paling tidak sembilan tahun, sampai sekolah menengah.”

Begitulah kata Pak Guru Tuharto. Guru dari Diman yang didatangkan dari pulau jawa karena tidak ada guru di daerahnya. Adapun enggan mengajar di sekolah yang hanya bisa memberikan gaji berupa sekaleng gabah atau sebungkus kopi.

Nyatanya benar adanya. Diman merasakan bahwa hidupnya sering diperdaya. Ia tidak menamatkan sekolah dasarnya. Melanjutkan ke sekolah menengah bahkan tidak ada dalam angannya. Yang ia tahu dulu bisa menulis dan membaca sudah cukup. Maka keluarlah Diman dari sekolah ketika kelas tiga, ketika sudah bisa membaca dan menghitung angka, meski menulis masih seperti cekeran ayam.

Tidak hanya Diman. Hampir semua anak di kampungnya tidak menamatkan sekolah dasar yang tamat sekolah dasar pun kadang hanya perempuan dan tidak melanjutkan ke jenjang lebih tinggi karena seusai sekolah dasar kebanyakan dipersunting dan menikah muda.Termasuk isterinya Diman yang dinikahinya di usia empat belas tahun sedang ia sendiri enam belas tahun.

Waktu melesat cepat secepat membaca paragraf di cerita ini.

Kini tahun 4021. Segalanya tampak sudah berubah. Semuanya. Kampung yang hijau dengan hutan, sungai, gunung, kebun, sawah dan ladang hanyalah gambaran visual dalam proyeksi hologram.

Sekolah sudah tidak diperlukan lagi. Sebab segala ilmu pengetahuan disuntikkan langsung dalam otak semenjak janin dalam kandungan. Itupun masih dianggap ketinggalan jaman karena janin tidak lagi dalam kandungan namun dibiakkan dalam preparat tabung kaca. Persis seperti di cerita manga-manga.

Manusia pekerja semakin tiada. Apalagi para buruh. Tenaga manusia dianggap kurang efisien dan berisik serta terlalu mudah bereproduksi. Segalanya digantikan robot. Bahkan orang-orang pemerintahan, polisi dan segala yang berkaitan dengan tata kelola negara sudah digantikan dengan robot yang semakin hari, semakin memperbaiki diri  hingga mampu terlepas dari bergantung kepada manusia dan berpikir penciptanya adalah mahluk penuh kesalahan yang patut dimusnahkan.

Manusia hanya tertinggal beberapa populasi yang bisa dhitung jari. Bersembunyi dalam tanah dan beberapa berevolusi menjadi monster seperti zombie karena kurang mendapat sinar matahari. Beberapa kembali menjadi manusia-manusia yang lebih purba pengetahunnya  dikarenakan otaknya mengecil, tidak pernah digunakan.

Namun sekolah di atas gunung itu masih ada. Seolah waktu berhenti di sana. Dan masih saja tulisan wajib belajar masih menghiasi dindingnya. Namun siapalah yang akan membaca, karena tulisan itu sudah dianggap tulisan purbakala.

 

 

Heri Setiyono, S.Pd

NPA PGRI 10094000266

0 Komentar