Oleh
: Heri Setiyono, S.Pd
Di
suatu sore di sebuah rumah yang sebetulnya biasa. Tidak megah, tidak pula
sederhana. Rumah dengan halaman menghadap sungai kecil berair jernih. Seolah
masa terjebak disana. Tidak berubah semenjak dahulu dengan kesahajaannya. Di
tepian sungai kecil itu duduk seorang kakek dengan cucunya. Menghayati udara
bergetar dan burung-burung merpati yang berdatangan mencari makan.
“Lihat
merpati itu Nak,” kata kakek itu kepada cucunya.
Sang
cucu memperhatikan. Melihat pejantan yang menegakkan bulu-bulu di lehernya.
Bulu-bulu yang berkilau itu membuatnya terlihat gemuk. Dengan suaranya yang
berwibawa pejantan merpati itu bernyanyi berputar-putar dengan gagahnya. Kkur Wok Wwok Ktekurr Wok Wok Ketekur…(suara
merpati di telinga orang jawa). Penjantan itu terus bernyayi menarik hati
betinanya.
“Merpati
juga disebut burung dara, kamu tahu kenapa ?”
“Tidak.”
“Aku
juga tidak. Orang-orang tua sepertiku
tidak pernah diberikan pelajaran Bahasa Indonesia.”
“Kakek
dulu sekolah?”
“Aku
tidak pernah sekolah Nak, aku dulu belajar mengaji.”
“Mengaji?”
“Iya
mengaji. Belajar tentang agama dan hidup dari ayat-ayat kitab suci. Dengan
mengaji kita tahu cara hidup yang benar.”
“Kenapa
Papa tidak mengajariku mengaji Kek?” Tanya anak itu polos. “Bukannya mengaji
mengajarkan cara hidup yang benar?”
Sang
Kakek terperangah. Ia memang mengajarkan anak-anaknya menuntut ilmu
tinggi-tinggi. Sampai dikuliahkan di kampus terbaik dan mendapatkan segala
fasilitas yang tidak didapatkan anak lainnya. Namun ada satu yang tidak dia
tekankan yaitu untuk anaknya selalu hidup dengan tuntunan dari mengaji kitab suci. Dengan tersenyum kemudian
lelaki tua itu menjawab.
“Mungkin
karena Bapakmu sibuk. Perusahaanya membuatnya bekerja keras setiap hari dua
puluh empat jam siap berbisnis. Atau mungkin karena waktumu habis untuk
sekolah. Kamu selalu pergi sampai sore.” Kata Kakek itu dengan sedikit kecewa
terhadap dirinya sendiri.
“Kenapa Papa tidak
mencarikan guru mengaji untukku saja Kek?”
“Ya, tapi di jaman sekarang ini ada yang menganggap belajar mengaji itu aneh,
ketinggaln jaman dan tidak menghasilkan apa-apa. Mungkin Bapakmu juga berpikir
begitu, makanya lebih memilih untukmu belajar Bahasa Inggris dan nari K-Pop.”
“Wah, Kakek tahu K-Pop,
hehehe….” Tawa anak kecil itu geli dengan kakeknya yang sudah tua tetapi juga
tahu trend masa kini.
Anak
kecil itu kemudian mengambil ponsel pintarnya, diperlihatkan ke Kakeknya tarian
K-Popnya yang direkam dengan aplikasi Tiktok. Lincah sekali gerakannya menari
diiringi musik EDM dengan lirik entah apa maknanya.
Sang
Kakek hanya tersenyum kecut. Ia merasakan betul, mungkin bisa jadi orang tidak
akan hidup dengan benar kalau tidak pernah belajar mengaji sama sekali. Namun
ia tidak bisa memaksakan. Anak-anaknya menjadi sukses dan sibuk di dunia juga
karena ia paksakan untuk selalu berprestasi. Dan akhirnya malah membuat mereka
terperangkap dalam jaring kesuksesan selalu dinilai materi.
Sang
Kakek hanya melayangkan pandang ke sungai yang jernih. Ingin hati dan
pikirannya pun sejernih sungai sehingga mampu mendengarkan anak-anaknya dahulu
dengan baik bukan selalu terburu-buru menasihati dan mendoktrin dengan
cita-cita kesuksesan yang membuat anak-anaknya menarik diri untuk berkomunikasi
lagi dengannya.
“Besok
minta ajarilah kepada gurumu yang kamu percaya di sekolah untuk mengaji Nak?”
katanya lirih.
…
Heri
Setiyono, S.Pd, juru tulis, pendidik, dan penikmat tokoh
NPA 10094000266
0 Komentar