Oleh: Heri Setiyono, S.Pd
Menjelang maghrib Guru Baharudin baru tiba. Setelah seharian
mengajar, dan sore tadi ia harus memberikan tambahan les. Sisa peluh masih
melekat di baju. Istrinya yang selalu berwajah teduh itu menyambut suka cita di
ambang pintu.
“Ada tamu Pak, orang jauh. Sudah menunggu bapak dari dua jam
lalu.”
“Dua jam?”
Ada rasa penasaran menyergap. Baru pertama kali ini ia
kedatangan tamu yang rela menunggu berjam-jam. Rasa letihnya masih terasa,
tetapi terkalahkan oleh keingin-tahuannya tentang tamunya. Sementara ia melihat
lelaki bertubuh tinggi tegap berdiri melihat foto lama Pak Guru Bahar bersama murid-muridnya.
“Silahkan duduk,” kata Guru Baharudin ramah. Tersungging senyum
di bibirnya.
Tamu itu pun duduk, merogoh ke dalam tas suatu bungkusan berbalut
kertas coklat yang biasa untuk sampul buku.
“Saya Egi, semoga Pak Guru masih mengingat saya. Saya datang
kemari sengaja ingin bertemu Bapak. Hari
kemarin saya mendapat gaji pertama saya. Karenanya saya ingin memberikan ini.” Ucap
lelaki itu seraya menyodorkan bungkusan di tangannya.
Guru Baharudin masih mencerna kalimat tamunya. Diingatnya nama
Egi dari sekian ratus muridnya selama ini. Diingatannya terbersit Egi siswa
kelas enam yang setiap hari membuat masalah. Terakhir ia ingat betul kejadian
bak kamar mandi sekolah yang menjadi najis karena ada yang buang hajat di dalamnya.
Kalau tidak salah ingat pelaku kejadian itu adalah Egi ini. Si anak bandel
namun pandai, yang kerap membuat pusing semua guru bahkan kepala sekolah pun
angkat tangan.
“Mas ini… Egi yang itu…”
“Iya pak,” sergah tamu itu sebelum Guru Baharudin
melanjutkan kata-kata.
Memang ada kebiasaan di daerah ini jika anak mendapat gaji
pertamanya bekerja selalu memberikan kado untuk orang tuanya. Adat ini
pembuktian bahwa si anak telah melangkah dewasa. Mendapatkan gaji pertama yang
tidak seberapa setelah bekerja sebulan penuh adalah semangat memulai langkah
dalam mimpi-mimpi besar anak. Maka, orang tua akan menerima pemberiannya
sebagai bentuk pengakuan.
Guru Baharudin
mengatupkan kedua tangannya, menaruhnya dengan khidmat di atas perutnya. Matanya
masih mengamati lelaki tegap didepannya. Berbagai pikiran dan kenangan berkelebat di kepalanya. Lelaki di depannya
adalah muridnya yang berpenyakit bandel stadium empat. Si yatim yang cerdas
sehingga selalu luput dari hukuman berat. Entah kehidupan apa yang telah
dilaluinya sehingga kini demikian berbeda. Saleh dan santun terpancar di
dirinya.
“Saya sekarang menjadi guru Pak. Sebulan lalu saya diterima
bekerja di madrasah. Saya selalu mengingat nasihat Bapak untuk memperjuangkan
hidup sendiri. Hingga akhirnya saya tetap dapat bersekolah. Setelah penantian
panjang saya pun bisa kuliah dan menjadi Guru.” Terang Egi dengan tangan
terbuka seperti orang berdoa membuncahkan syukur yang teramat sangat.
Pertemuan itu tidak berlangsung lama karena Egi memohon diri
untuk pulang ke kampungnya. Alasannya, ibunya sudah tua sehingga tidak bisa
ditinggal teralalu lama sedang ada juga tanggung jawabnya memberi makan lele
budidaya yang menopang ekonominya.
Guru Baharudin sebenarnya ingin agar lebih lama tamunya untuk
tinggal. Tetapi tak kuasa menahannya. Ia terlalu takjub dan masih kaget. Ia mengingat
dahulu hanya menuliskan beberapa kalimat di papan tulis yang ia sadur dari buku
motivasi. Tidak disangkanya ternyata tulisannya membekas dan mengubah hidup
muridnya.
Bungkusan coklat itu masih ditimangnya. Dirasakannya isinya
lembut di jari.
“Ini mungkin kain batik,” pikirnya. “Ah, anak itu…” Guru
Baharudin tak hentinya menggelengkan kepala.
“Berapalah gajimu yang kecil itu sebagai guru madrasah nak…
Bahkan sampai hatimu menggerakkan dirimu hadir mengingat kepadaku,” batin Guru
Baharudin trenyuh.
Diingatnya tadi siang Guru Baharudin mempersoalkan uang
gajinya yang seakan tidak cukup untuk hidup, terlebih setelah mengambil kredit
bank untuk renovasi rumah. Padahal, ia telah mendapatkan sertifikasi. Yah,
meskipun sering dibayarkan tiga bulan sekali oleh pemerintah. Akan tetapi,
statusnya sebagai guru bantu yang di SK-kan pemerintah daerah membuatnya lebih
baik dari sekian ribu guru honorer lainnya.
Ada rasa malu dalam diri Guru Baharudin mengingat ia meminta
tambahan honor dari sekolah. Sedangkan guru lain yang masih berstatus honorer gajinya
masih sepertiga dari yang ia peroleh. Diingat-ingatnya gaji kecil pertamanya
yang sangat memuaskan langkah awalnya. Kala itu meskipun sedikit secara jumlah
tapi baginya ia mampu menggenggam dunia. Sedangkan kini buku tabungan hanya
sebagai tempat parkir sementara untuk penggunaan yang tidak jelas dan berakhir
melayang ke bank penyedia kredit.
Jari-jari Guru Baharudin mengetuk-etuk bibir meja. Pikirannya
masih menerawang betapa ia berasa memiliki dunia tanpa syukur. Sebelum akhirnya
alunan ayat suci dari kamar anak bungsunya mengaburkan lamunannya, bening air
mata meluncur ke pipinya.
Heri Setiyono, S.Pd
No. pokok anggota PGRI 10094000266
Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Blog PGRI “Menulis di Blog
Jadi Buku”
4 Komentar
luar biasa kisahnya pak guru
BalasHapushttps://omjaylabs.blogspot.com/2021/02/belajar-bicara-pgri-bersama-ibu-amiroh.html
BalasHapusMohon komentarnya
Etin Suryani Cianjur Jabar
BalasHapusLuar biass ..Semangat Pak ...salam literasi
....silahkan main ke blog sy..trims
https://suryanietin.blogspot.com/2021/02/tantangan-ngeblog-setiap-hari.html
Kisah yang menyentuh hati..
BalasHapus