Oleh : Heri Setiyono
Selalu belajar itulah yang terbersit dalam tempurung
kepala setiap bertemu dengan orang baru lagi sarat ilmu. Belajar inilah yang
memunculkan semangat tersendiri hingga menginspirasi diri untuk mendapat ilham menulis. Bertemu orang baru yang saya maksud adalah narasumber kali ini
yang sangat kredibel dan saya menyesal baru mengenalnya sekarang. *Kemarin-kemarin kemana saya, kok
kurang jauh mainnya…hehehe *
Beliau adalah Agus Sampurno seorang Education Specialist dan juga Ketua Yayasan Pendidikan Sorowako
Sulawesi Selatan. Beliau menyampaikan materi yang menjadi kunci kegemilangan sebuah tulisan yaitu ide.
“Ide Dalam Menulis,” begitulah pokok materi kali ini.
Ada beberapa poin yang perlu diketahui penulis dalam
memecah ide menjadi tulisan. Kesemuanya merujuk pada bilangan 90% dan 10%.
Sembilan puluh persen ide tulisan muncul ketika penulis tidak peduli dengan apa
yang orang lain katakan mengenai tulisannya. Dan 10%-nya ketika keberhasilan
menulis menjadi sebuah konsitensi.
Maka, dengan semakin tinggi ketahanan kritik, ide
akan selalu mudah dicari. Karena akan selalu berpikir positif dalam berkarya, mengemas kelemahan menjadi kekuatan. Semakin konsisten dalam menulis, maka ide-ide
lainnya akan bermunculan, mengalir keluar. Ini seperti yang selalu saya alami ketika berhasil menuntaskan tulisan ada
saja ide baru yang bisa digali dari tulisan yang baru lahir itu. Nampaknya saya memang perlu
menambah tulisan-tulisan baru untuk menambah bobot tulisan sebelumnya yang masih prematur. Well,
seperti kutipan dari David Perell yang Pak Agus berikan untuk melakukan menulis
ulang.
“Menulis dengan baik berarti berpikir dengan baik.
Artinya bahwa jika kita tidak dapat menulis dengan baik, itu berarti kita tidak
dapat berpikir dengan baik. Tetapi menulis hanyalah langkah pertama. Menulis
ulang juga penting. Menulis ulang adalag memikirkan ulang ide tulisan kita” (David Perell)
Ide
Menulis, Hati dan Pikiran
“Menulis dengan hati, mengedit dengan pikiran,”
begitulah dua frase yang dilontarkan Pak Agus Sampurno. Sering penulis pemula
seperti saya sembarang saja menulis sesuka hati, tanpa mengindahkan adanya pembaca. Padahal, pembaca yang memiliki waktu berharga sudah rela menggadaikan waktu yang dimilikinya dengan membaca tulisan saya.
Akhirnya, karena menulis sesuka hati, tulisan menjadi panjang-panjang, ruwet, mbulet, susah dicerna. Meng-editing pun dilakukan sambil lalu, sekali dua kali saja, hanya editing ejaan dan tanda baca. Mestinya,
keefektifan penggunaan kalimat, rasa dan bahasa harus pula diswasunting agar menjadi tulisan “Lezat.”
Pun begitu mereka (pembaca) masih legowo membaca dan meninggalkan jejak komentar yang saya sediakan
untuk panggung bagi saya bisa mengenali mereka. Sungguh, dari hati saya berterimakasih kawan semua sudah rela
membaca tulisan saya. Meski saya sadari tulisan itu kadang masih mentah untuk
dikunyah. #Duh…teganya aku
Dari Pak Agus Sampurno saya menyadari menulis dengan baik berarti berpikir dengan baik. Menulis adalah mengasah pikiran.
Adakalanya sebagai pemula butuh mentor seperti Pak Agus ini untuk membongkar pola pikir
agar lebih terbuka sudut pandang, pikiran dan hati untuk menghasilkan tulisan
yang jernih. Dari beliau ada beberapa tip agar
menghasilkan tulisan yang sejernih “air kreatif”.
- 1. Sederhanakan
pesan
- 2. Buat
tulisan yang menyenangkan, menakutkan, menegangkan atau mendidik
- 3. Buat
tulisan begitu menarik sehingga seseorang pasti gila untuk tidak membacanya.
Setiap tulisan dengan gaya apapun ada penggemarnya.
Namun dengan tiga tip itu kiranya semua orang akan menyukainya. Mengingat di
dunia ini tidak ada yang baru, tulisan bertema percintaan misalnya dari dulu ya
isinya itu melulu, kesetian, cinta segitiga dan semacamnya. Semuanya pernah
digarap penulis siapapun itu. Tidak
heran istilah “Nothing New Under The Sun” adalah benar adanya. Lalu yang
membedakan apa? Jawabnya ya penulisnya tentu saja. Cara menuliskan setiap orang
berbeda-beda dan keunikan cara itu selalu
mendapatkan tempatnya di hati pembaca.
Ada pula tip dari beliau dalam mencari ide.
“Mencari ide haruslah dipisahkan dengan menulis. Mencari ide sama pentingnya dengan proses menulis itu sendiri.” Begitulah ujarnya.
Well,
ide bagi saya adalah suatu konsep. Dengan ide/gagasan besar butuh konsep
matang untuk menjadikan tulisan yang
sukses. Maka penting untuk mencari ide dengan sungguh-sungguh. Kemudian mematangkannya, memeramnya sebelum mem-breakdown-nya
menjelma tulisan. Ketika ide muncul penting untuk memasukkan kedalam catatan,
mengumpulkannya kemudian mengeluarkan satu-satu mewujud tulisan. *Oh, sungguh saya sering lupa pentingnya mencatat ide*. Hal ini menjadi pelajaran penting bagi saya pribadi. Dan
mungkin para penulis pemula yang menulis secara “tradisional” menunggu momen “Cling”,
datangnya ide dan mood menulis.
Dari
Gaya Menulis Ke Judul
Penyakit penulis pemicu cancer writer blocks nampaknya dapat saya rumuskan dari ujaran Pak
Agus,
“Hambatan penulis terjadi ketika ia terlalu menghakimi diri sendiri
saat mulai menulis.”
Penulis pemula yang memaksakan, mengeluarkan hal yang
asli dari dirinya pada umumnya malah berakhir meninggalkan tulisannya, tidak
diteruskan, macet di tengah jalan. Hal ini sering terjadi. Lalu apa salah
sebagai penulis pemula mengikuti jejak keunikan cara dan gaya menulis para penulis kawakan. Tentu
tidak. Saya ingat pernyataan penulis top Bang Matahari Timoer (MT) kala
bersua penerbit, bahwa tulisannya seperti gaya Seno Gumira Ajidharma (SGA) di
suatu halaman dan seperti gaya Pramudya Ananta Toer di halaman lainnya kata penerbitnya.
Maka, sah-sah saja melakukan Amati, Tiru, Modifikasi
(ATM) hingga menemukan ciri khas dalam menulis. Hal ini bisa dijadikan
pelajaran. Bahkan untuk menulis judul pun sedemikian.
“Membuat judul tulisan adalah seni tersendiri.”
Begitulah kata Pak Agus Sampurno.
Yup, membuat judul artikel di media online sangat jauh
berbeda dengan menulis judul pada puisi dan prosa.
Ini saya akui setelah mengamati judul-judul di media online yang justru lebih
dari tiga kata. Oke sedari SMA, guru Bahasa Indonesia saya selalu menekankan judul
cerita yang mengena isi dengan tiga kata nampaknya membekas ke penulisan juga.
Kemudian dari teman-teman guru yang sering menulis karya tulis ilmiah, mereka tidak jarang menggunakan akronim agar menambah rasa penasaran. Hal itu juga mempengaruhi saya
membuat judul. Meskipun, akhirnya hal ini terpatahkan karena penulisan judul dengan
singkatan yang tidak bermakna atau malah berkonotasi negatif, justru membuat nilai karya ilmiah menjadi
kurang.
Tip dari Pak Agus dalam membuat judul artikel di
media online antara lain dengan menyematkan kata-kata berikut: anda, bebas,
gratis, baru atau terkini, sekarang dan rahasia. Dijamin mengusik pikiran untuk
membaca. #Tust Me It's Work, hehehe kayak iklan parfum
Editing
dan Branding
“Kegiatan mengedit tulisan yang kita lakukan
adalah sebuah upaya pembersihan. Memangkas dan hilangkan yang tidak
perlu dan utamakan yang inti saja. Jangan bersedih dengan kata yang hilang
karena itu adalah jalan kita untuk menuju fokus tulisan yang berkualitas.
Editlah berkali-kali.”
Begitulah kata Pak Agus jika saya ringkaskan.
Mengediting adalah mematangkan tulisan yang tadinya “mentah” menjadi “lezat.”
Seorang penulis yang memberikan tulisan
“mentah” dapat diartikan langsung menekan publikasikan
tanpa mengedit dengan memposisikan diri sebagai pembaca. Jika kita membaca artikel bukannya kita sering gemas dengan tulisan sedemikian. Banyak typo dan entah ujung pangkalnya. #Ouwh Yeah
“So, Jangan bosan melakukan editing, jangan sedih
kata banyak disunting,” kata saya menyemangati diri sendiri.
Kegiatan editing ini akan membawa kepada citra
diri. Ide yang terkemas apik dalam tulisan yang matang akan menjadikan penulis menjadi sosok berbeda di internet. Berbeda, bercirikhas sebab citra diri dan gayanya. Perlu saya akui, saya bukan Pidi Baiq (*penulis Novel
Dilan itu lho…!) yang konon jika tulisannya disunting maka tidak akan seperti
punya Pidi Baiq lagi. Itulah gayanya. Karenanya, wajib bagi saya swasunting before posting.
Intinya citra diri adalah hal yang kita sukai, kita
pelajari dan menjadi keunikan kita masing-masing. Oke, ayo temukan. Tentunya dengan tetap memperhatikan point of view
pembaca sebagai cerminan dalam menyunting. Hal ini agar tulisan kita manusiawi.
Terlepas dari banyaknya komentar maupun view, pasti ada pembaca yang menantikan
tulisan kita karena mengakuinya atraktif. Faedah ini kiranya menjadi mindset
agar selalu menulis dan mengajarkan hal yang kita suka. Meskipun banyak orang
yang diam belum melirik karya kita, tapi konsistensi pastilah akan menjawab usaha. Ingatlah Pram yang hingga dibuang ke Pulau Buru, buku-bukunya dibakar karena menulis. Tetapi menyerahkah ia, tidak ia tidak peduli dan tetap menulis hingga akhirnya tulisannya beterbangan keluar pulau dan bisa dinnikmati hingga kini. Bersabar berani belajar, berani berproses.
Keberanian menulis itulah yang perlu dilestarikan untuk menjaga konsistensi. Dengan keberanian menulis kontemplasi kritik akan terbentuk. Jikalau, pakar akan menumpas habis tulisan kita dengan teori dan banyak coretan catatan untuk perbaikan. Kita akan tetap maju karena kita juga adalah praktisi menulis yang membangun tulisan dengan semangat belajar sepanjang hayat.
Konteks menulis di media online pun sama, karenanya pertajam
tulisan kita dengan editing dan ingat empat hal dari Pak Agus ini.
- 1. Judul
yang menarik
- 2. Tulisan
tidak terlalu panjang
- 3. Kekinian
- 4. Runtut
dan mengalir
Demikianlah, sederet wawasan ide dalam menulis yang
saya sarikan. Bila kawan membaca tuntas dengan seksama tulisan ini, saya sangat berterimakasih.
Terlepas dari silap kata dan postingan kali ini yang cukup panjang, saya memohon
maaf. Keep Writing Guys..!
2 Komentar
MashaAlloh idenya keren
BalasHapushttps://hernisbanah.blogspot.com/2021/02/berakit-meraih-ide-menulis-nan-indah.html
BalasHapusMonggo berkunjung diblog saya