Raisha
(Fiksimini)
Oleh: Heri Setiyono
Kelas sebelas A mendapatkan tugas mengarang
cerita pendek dari Bu Ivo, Guru Bahasa Indonesia yang juga wali kelas mereka.
Rio yang tidak menyukai bahasa dan sastra masih memandangi kertas folio di
depannya. Pulpen di tangannya diputar-putar melewati jemari dengan lincah.
Sedang tangan kiri masih memijit-mijit pelipis seolah memaksa ide keluar dari
tempurung kepalanya. Tak kunjung inspirasi cerita tiba. Mendadak ia
teringat sesuatu. Tutup pulpen dibuka dan ia memulai ceritanya.
Cerita itu begini:
Suatu malam Rio sedang menunggu giliran menyusur
jejak (jurid malam) dengan cemas. Tangan dan pipinya dingin. Sedari tadi diterpa
udara lembut puncak bulan penghujan, Februari. Baju pramuka lengkap dengan hasduk di leher yang
dikenakannya tak mampu mengusir kebekuan.
Diliriknya jam tangan, hampir tengah malam. Langit berwarna gelap dan
muram tertutup kelabu mendung yang enggan beranjak sedari surup Isya. Seperti
sebuah alamat yang buruk.
Memang tidak jelas benar mengapa dirinya mau
bertukar urutan menyusur dengan
peserta lain bernama Raisha. Karena Raisha cantik, menarik dan nahas
mendapat undian giliran terakhir. Kiranya itulah yang dia pikirkan sebagai
alasan yang cukup masuk akal.
Disaat peserta lain sudah berada di titik
akhir di ruang kesenian, berselimut hangat dan tertidur, ia rela berjam-jam
menunggu giliran. Kegiatan perpaduan menyusur jejak dan jurid malam itu adalah
persyaratan yang harus dia lakukan untuk mendapatkan badge pleton inti. Setiap peserta harus berjalan dengan rute yang
sudah ditentukan oleh para Kakak Bantara. Tidak lama jika berlari, hanya
menyusuri sekolah yang tidak kurang dari empat lorong bangunan. Sayangnya
peserta tidak boleh berlari. Setiap peserta yang berlari akan ketahuan karena ada panitia yang mengintai di
balik gelapnya bayang bangunan.
Selain dilarang berlari, di setiap titik yang sudah ditentukan peserta harus membubuhkan tanda tangan pada lembar kertas yang
disediakan. Terdapat sebatang lilin penerang dekat kertas absen untuk
memudahkan penglihatan. Peserta harus berjalan sendiri tanpa penerangan apapun.
Begitulah aturan main yang digariskan yang di dengar Rio.
Sebenarnya ada kengerian yang muncul di benak
Rio setiap kali mengingat sekolah ini adalah bekas bangunan jaman kolonial.
Bangunan yang dahulu sempat digunakan para penjajah menyusun siasat untuk
menjebak dan mengeksekusi pembelot.
Lebih ngeri lagi jika mengingat mitos turun-temurun di sekolah itu jika terdapat lorong bawah tanah yang menghubungkan
kelas sepuluh B dengan aula. Terdapat ruang-ruang gelap di lorong bawah tanah
itu, konon dahulu digunakan sebagai ruang untuk menyiksa para gerilya. Mitos itu sayangnya tidak dapat dikonfirmasi karena pintu lorong itu sudah ditutup
pondasi.
Malam ini sayup binatang malam pun tak
terdengar. Mendung masih menggantung, beberapa bulir rintik sudah membasahi
bumi. Kelabu malam tidak selalu berarti malapetaka bukan?
Namun pikirannya segera berubah.
Tibalah giliran Rio, peserta terakhir. Ia
berjalan dengan gugup meski dicobanya tetap santai. Namun, nafasnya tidak mau
kompromi. Ia tegang, nafasnya satu-satu tak teratur.
Rio pertama melewati halaman sekolah. Aman.
Hanya beberapa Kakak Bantara menggodanya dengan lemparan kerikil dari balik
gelap. Lemparan yang disengaja dikenakan ke depan langkahnya. Rio menyadari dan
tak membalas, meski sedikit kaget.
Sesampai di parkiran motor suasana berubah lebih sepi. Tidak ada lemparan kerikil. Diatas parkiran motor itu, di lantai dua
parkiran adalah masjid sekolah. Ia tahu beberapa panitia sembunyi disana. Rio
berbelok ke kanan, ke arah kantin. Kantin yang berupa kios kecil itu
berderet memanjang hingga ke belakang
ruang kelas sepuluh B. Suasana kantin yang biasanya riuh kala siang demikian
berbeda kini. Hanya terdengar cericit tikus wirog yang besarnya setelapak kaki
orang dewasa berebut sisa makanan di
tempat sampah.
Rio terus berjalan tanpa penerangan.
Jantungnya berdegup makin kencang ketika melewati belakang kelas sepuluh B.
Tidak terjadi apa-apa, Rio sedikit lega. Ia khawatir dikagetkan dengan
kemunculan mendadak panitia berkostum hantu, pocong, dan sejenisnya. Namun tiba-tiba.
“Brakk….”, bunyi jatuh berdebam keras
menghantam tanah. Bunyi keras seperti
dahan pohon tumbang. Rio terkesiap. Ditolehkan kepalanya menuju sumber suara
yang jelas berada di belakangnya. Tidak ada apa-apa. Namun ia sadari memang di
sisi kantin tepat dibelakang kelas sepuluh B ada pohon sebesar tiang listrik
yang kemarin sudah ditebang.
Rio tidak mengambil pikir, disugestinya
dirinya sendiri bahwa ia salah dengar. Diteruskannya langkah yang belum
mencapai separuh jalan. Kaki Rio melangkah memasuki tempat selanjutnya kamar
mandi siswa putra. Rio diberi tahu bahwa ada absen di pojokan kamar mandi
putra. Ia berusaha cepat-cepat menuju kesana.
Sialnya karena giliran terakhir. Lilin
yang menerangi sudah hampir habis. Tepat
mencapai kamar mandi paling pojok lilin padam. Rio buru-buru meraba-raba, menemukan pena lalu menandatangani pada
lembaran putih yang masih terbersit kelihatan mata sebelum jeda cahaya
lilin hilang. Rio buru-buru berpindah ke tempat selanjutnya. Tidak dipedulikannya
berbagai macam bau menyengat hidungnya. Entah pesing, busuk dan berganti wangi
melati, ataukah kantil...tidak dihiraunya.
Kali ini langkahnya memburu meski tidak
berlari. Tempat selanjutnya adalah ruang Kelas dua belas A yang berada persis
dihadapan kelas sepuluh B. Tiba-tiba angin berdesir ketika Rio membuka pintu,
bersamaan cahaya lilin yang berkedip akan
mati. Tangannya mengepal, tak mau ia jika gagal membubuhkan absen. Dilakukanya
secepatnya lalu keluar ruangan.
Dari sudut mata, Rio seperti melihat Raisha.
Gadis cantik berparas khas gadis Bali itu berjalan menyusuri lorong menuju
aula. Rambutnya yang hitam lurus sepunggung adalah ciri khasnya. Hanya Raisha
yang punya, karena semua peserta putri selain dirinya memakai jilbab. Rio heran
mengapa Raisha ada disana. Namun ia hanya diam tak memangil dan segera
menyusulnya ke Aula tempat tanda tangan absen selanjutnya.
Anehnya, Raisha tidak ada di dalam aula.
Sepi. Hanya meja dan kursi yang berserakan serta secarik kertas dan sebatang
lilin yang mau habis. Tirai penutup panggung di aula bergoyang lembut tanpa Rio
sadari.
Setiba di titik akhir Rio merasa lelah. Ia
tak banyak bicara dan segera mencari tempat untuk merebahkan badan. Seketika
itu ada sesuara anak perempuan yang memanggilnya, Rio tidak mendengar.…Hujan terlanjur turun.
Cerita itu terputus disini, karena tanpa Rio
sadari Raisha memanggil-manggil namanya untuk maju ke depan kelas mengumpulkan
ceritanya. Bu Ivo sudah menunggunya sedang Rio masih asyik di dunianya.
8 Komentar
Mantap (Cici Jang)
BalasHapusHallo Cici. Terimakasih apresiasinya.
HapusOh sedang mengarang cerita yah? Kereeen...
BalasHapusHallo Bu Tini. Iya bu terinspirasi dari bingung mau nulis apa tidak tahunya mengalir jadi cerita thriller.
HapusMantap dan semakin keren. Semoga tetap menginspirasi.. Lanjtukan!
BalasHapusHallo Pak Nana. Waduh terimakasih banyak pak.
HapusTernyata penulisnya hebat...
BalasHapusLanjutkan
Hallo Pak Indra, lanjutkan baca flashfiksi lainnya ya Pak.
Hapus