Oleh : Heri Setiyono
Pagi ini terasa berbeda, udara
terasa begitu segar, cericit burung memanggil-manggil pasangannya di pucuk
dahan pohon rambutan. Sinar mentari juga hangat sekali seperti hangatnya hatiku
hari ini karena hari ini adalah hari terakhirku ke sekolah sebelum besok
purnatugas.
“Bu Im kok kayaknya bahagia
sekali. Ini saya bawa beberapa mangga Bu, masak di pohon lho, manis banget,” kata Ais rekanku yang masih
muda, lajang dan bergairah kerja.
Kuucapkan terima kasih atas pemberiannya.
Wah, aku mungkin akan merindukan suasana seperti ini bertemu rekan-rekan guru
yang seusia anakku yang demikian baik dan semangat.
Ais adalah guru baru, dia
diangkat dari tenaga bantu seleksi pegawai kontrak. Ia akan menggantikanku di
kelas ini esok hari. Melihat dirinya
sungguh mengingatkanku sewaktu muda. Energik, haus ilmu dan tidak suka ribet.
Kami pun memiliki kesamaan yang
membuat cepat akrab dan menjadi rekan dekat. Sama –sama tidak suka gossip dan
lebih suka bercerita tentang berbagi
ilmu. Ya, aku memang sedari dulu enggan melayani rekan kerja yang membicarakan
orang lain. Meskipun hampir semua guru di sekolah ini perempuan, aku mungkin
satu-satunya yang tidak suka dengan “ngrasani” apalagi membicarakan kejelekan
orang lain.
Hari-hari menjelang pensiun ini
sangat membuatku gembira. Bagaimana tidak, pensiun adalah suatu cita-cita
bagiku karena dengan pensiun aku bisa fokus beribadah dan mengikuti
taklim-taklim yang jarang bisa kulakukan ketika masih bekerja.
Terlebih sudah tidak ada lagi
tanggungan anak-anak. Ketiga anakku sudah masing-masing memiliki pekerjaan
tetap. Dua menjadi dokter dan si bungsu yang sangat berbeda hobinya menjadi
pendaki dan penjelajah alam. Anak itu memang berbeda dari kecil, jiwanya selalu
bebas seperti burung layang-layang. Maka kurestui juga pekerjaannya menjadi
fotografer alam untuk suatu majalah.
Sebenarnya kini aku hanya
sendirian di rumah. Suami sudah lama tiada tetapi rumah tidak pernah sepi
karena setiap sore anak-anak kecil datang mengaji, aku dibantu beberapa kolega
menjadi guru mengaji. Ibu-ibu di kompleks juga sering mengadakan pengajian dan
mengambil tempat di rumahku. Rasanya pensiun adalah anugerah untukku bisa lebih
banyak beribadah.
Beberapa waktu lalu rekan-rekan
guru seangkatanku ada yang datang kepadaku. Sekedar bercerita membuang
kegelisahan yang melanda sebelum berhenti bekerja. Entah mengapa kebanyakan
selalu stress mengahadapi pensiun. Tidak terkecuali kawanku-kawan seangkatanku
itu.
Kebanyakan tidak siap dengan
pensiun. Aktivitas yang sebelumnya bekerja kemudian tiada. Ada semacam
kebiasaan yang hilang dan mereka belum siap. Beberapa juga secara
terang-terangan bercerita kalau belum siap pensiun, karena masih banyak
ide-idenya untuk sekolah dan belum mau melepaskan diri dari jabatan atau
posisinya saat ini. Katanya, belum siap melepaskan dibutuhkan orang lain. Jika pensiun
siapalah yang akan datang memohon nasihat, tanda tangan dan membutuhkan
bantuan.
Banyak yang tidak siap. Terlebih rumah
meskipun utuh ada anak, cucu dan menantu kebanyakan tidak cocok. Pekerjaan menjadi
pelarian. Dan di rumah merasa merepotkan anak adalah kesalahan. Hal yang sama
sekali tidak ingin dan tidak akan dilakukan orang tua.
Aku sedari diangkat hingga
pensiun berada di sekolah yang sama. Berpuluh tahun tidak pindah tugas. Tidak juga
kukejar karier dan jabatan. Meski kemampuanku ada aku lebih menyukai ilmu
daripada jabatan. Bagiku jabatan akan membuat pikiran tidak fokus kepada tugas
utama untuk menikmati mendidik yang sesungguhnya. Sedangkan aku hanya bisa
fokus ke satu hal tidak lebih.
Mungkin rekan-rekan seangkatanku
yang tidak siap pensiun karena bekerja untuk mengejar posisi jabatan dan
meningkatkan karier. Oh, apalah kepuasan mengejar jabatan. Lebih baik biasa
saja tetapi memiliki ilmu yang luar biasa. Sehingga menikmati perjalanan proses
penuh cinta, bukan sebagai neraka.
Heri Setiyono, S.Pd
NPA Anggota PGRI 10094000266
0 Komentar