Oleh : Heri Setiyono
Beberapa hari ini aku
susah sekali memejamkan mata. Bukan karena kantuk tak datang tetapi ada yang
mengganjal pikiran hingga kantuk enggan kuturuti. Alhasil badan mulai kurus
karena insomnia.
Semua berawal dari seminggu yang lalu. Ketika kecepatan
mobilku melaju mendekati kecepatan delapan puluh kilometer per jam dalam
lintasan lurus. Persis seperti mengejar angin mobil yang biasanya kupaku lebih
dari itu hilang kendali. Entah apa yang terjadi padahal biasanya tidak pernah
seperti itu. Kecelakaan. Tidak aku tidak mengalaminya.
Mobil yang entah
kenapa, aku mengira karena sabotase. Tahulah bahwa beberapa orang iri dengan
tender yang kupunya, hingga aku bisa membeli mobil ini. Tender apa? Banyak. Mulai
dari pengadaan material bangunan rehabilitasi sekolah hingga pengadaan barang
jasa dan barang modal dari uang bantuan operasional dan afirmasi kinerja
sekolah.
Semua melewatiku karena
aku memiliki rekanan perusahaan yang bisa kujadikan pijakan saling mutualisme. Barang
yang dibeli sekolah bisa dibeli dengan harga murah dan mendapatkan imbal jasa
sedangkan di laporan dan barang yang dikirim tidak sesuai kenyataan. Tetapi toh
aku bebas tuntutan. Siapa sih yang bakal menuntut. Bukannya sama-sama salin
untung kubilang tadi. Sekolah mendapatkan barang dan laporan hingga pajak dari
perusahaan dan masih mendapatkan uang bonus lagi. Itulah ekses jika kalian
membiarkan pemimpin korup menjejali institusi.
Aku yang bukan
siapa-siapa, hanya operator sekolah biasa sebenarnya. Tetapi dengan
kepintaranku menggenggam informasi dan relasi bisa mendatangkan rezeki. Yang kutahu
kadang itu tidaklah halal, karena broker untuk masalah kolusi tetaplah korupsi.
Akibat dari itu aku
mulai susah tidur. Obat-obatan tidak manjur. Sudah kucoba. Bertanya ke dokter
hanya diberikan vitamin yang tak berpengaruh besar pada perubahan.
Di rumah aku mulai
mengalamai depresi. Badanku kurus. Pikiran kubuat selalu sibuk agar tidak
terbersit mengingat dosa. Dan hidungku sepertinya makin bertambah panjang. Ini mungkin
akibat kebohongan yang selalu mulus kubuat. Tahulah kalian penyakit pinochio
karena kebohongan maka hidung akan menjadi panjang.
Bukannya aku insyaf. Justru
dengan panjangnya hidungku malah membuatku mudah mengendus uang. Uang yang
nyata cash dan dalam rekening mampu kuendus. Gila. Beberapa mulai tidak menyukaiku karena kolusi
yang mereka lakukan mampu kucium dimana uang dan kelebihannya. Akupun disogok,
disuap diselipkan amplop berisi segepok uang dalam map tertutup untuk menutup
rahasia setiap institusi. Dan hidungku bertambah panjang lagi dan lagi.
Aku mulai bosan dan
terganggu dengan insomnia dan penyakit pinochio ini. Aku hanya ingin tidur. Tidak
kusangka keinginan ini membawaku kepada kantor polisi, aku mengakui berbagai
tindak kolusi, korupsi dan semua nama-nama yang terlibat aku terakan. Aku
ditahan. Anehnya di penjara aku bisa tidur tiga hari tidur nyenyak pulas
sekali.
Suatu ketika sipir
penjara memanggil,
“Badu, Pak Badu, keluar… anda di bebaskan!”
Kaget. Ternyata anugerah aku bisa tidur kembali tidak berlangsung lama. Di negera ini siapa
yang membayar hokum pun bisa dibeli. Entah
siapa yang menjaminku. Sehingga polisi menggelandangku dipulangkan. Padahal aku
memohon-mohon untuk tidak dikeluarkan. Aku menemukan kenikmatan di dalam sel
dingin itu. Tidur.
Namun polisi tak mau
dianggap melawan atasan. Aku malah diseret
keluar dan hari-hariku berlanjut lagi. Tanpa tidur dan hidungku semakin
panjang.
Kini sebilah belati di
tanganku. Badanku makin kurus. Isteriku mengira aku memakai obat-obatan
terlarang. Padahal narkotika hanya kutahu di media massa saja. Yang kutahu
hanya kopi dan rokok. Cafein dan nikotin campuran racun tubuh paling umum. Seandainya
kutahu arsenic dan bisa kubeli maka cukuplah menjadi campuran kopiku untuk
mengakhiri semua. Tetapi aku tidak mengetahuinya dan insomnia mungkin akan
membawaku ke akhir hidupku.
Kota Hujan, 22 Februari
2021
Terinspirasi dari “Pinochio
desease” Seno Gumira Ajidharma
Heri Setiyono, S.Pd,
penulis amatiran dengan NPA PGRI 10094000266
0 Komentar