Kamar

 



Oleh: Heri Setiyono

 

Sudah seminggu ini aku tidak melihat kawan sebangkuku. Ia tidak berangkat sekolah cukup lama padahal sebelumnya kudengar ia hanya sakit ringan. Ternyata ia kabur dari rumah.

Entah apa masalah yang menjadi penyebab hal itu. Tak ada yang tahu. Seuatu ketika sepulang sekolah, aku berencana mampir ke rumah nenekku yang berada cukup jauh, sekitar empat puluh menit naik sepeda. Aku memang biasa menaiki sepeda untuk sekolah sedari sekolah dasar. Hingga kini menjadi siswa kelas tiga sekolah menengah atas kebiasaan menaiki sepeda masih kulakukan. Selain menghemat biaya, setidaknya itu yang bisa kulakukan untuk meringankan ekonomi keluarga.

Ketika kukayuh sepedaku melewat perempatan sebuah jalan, kulihat sekelompok anak-anak berpakaian tak karuan. Penampilan mereka sangar, beberapa bertato dan memakai aksesoris yang menyeramkan. Kalung, gelang berduri dan tatanan rambut entah apa. Demikian eksentrik namun juga sadis, sehingga orang lebih merasa rishi daripada tertarik.

Kudapati kawan sebangkuku bersama mereka. Entah apa yang mereka lakukan, aku tak berani menyapa. Aku berlalu memacu sepedaku begitu saja menuju tujuanku.

Hari berikutnya aku yang selalu suka ingin tahu terusik rasa penasaran. Aku datangi rumah kawan sebangkuku. Ia ada disana, taka da percakapan tentang  sekolah dan pelajaran. Setelah menanyakan kabar aku membantunya mendekorasi kamar, mengecatnya hitam kelam.  Entah mengapa aku tak ingin mencampuri kehidupannya, kami berteman berbagi obrolan  tetapi tidak dengan kehidupan masing-masing.

Kamar yang semula bercat putih, pucat dan biasa, kini berubah serba hitam. Beberapa bagian bergambar motif tengkorak dan emoticon putih dan merah. Gila pikirku. Gelap sekali. Perubahan warna dalam kamar serba hitam sungguh membuat perbedaan. Segalanya menjadi lebih gelap, cahayapun seperti terseret kegelapan. Kawanku tersenyum puas. Aku masih keheranan.

“Ini sungguh gothic,” katanya.

Ternyata masalah kamar ini bukan semata urusan ruang dan barang-barang. Ini menandai perubahan personal dalam dirinya. Kehidupannya lebih semrawut kurasakan. Sekolah kurang diperhatikan, penampilan apalagi. Aku cuma berharap kawanku baik-baik saja, tidak murtad dari agama. Aku khawatir saja kawan yang dahulu sering berangkat ke surau bersama untuk belajar mengaji ini berubah menjadi manusia setengah penyembah setan.

Kelulusan berlalu. Aku masih sama seperti dahulu. Penampilan biasa cenderung culun dan tidak mudah bergaul. Hanya saja aku masih memiliki beberapa kawan, termasuk kawan sebangkuku yang juga lulus dengan karakternya yang sekarang lebih seperti  secuil pesona vocalis band punk rock black metal.

Menjelang  persimpangan hidup untuk menentukan tujuan kuliah atau mau bekerja, atau mau apa karena terbebas dari masa SMA, aku sedikit bimbang. Aku ingin menjadi ilmuwan, tetapi orang tua ingin agar aku menjadi guru SD. Sederhana, karena guru SD saat nanti akan banyak dibutuhkan, mendapatkan uang tambahan sertifikasi dan pegawai negeri. Aku bukanlah anak yang mudah berkomunikasi dengan orang tua. Aku pun pergi ke kawanku, melihatnya yang bebas denga hidupnya adalah obat bagiku yang gelisah.

Kudatangi rumahnya. Ia sedang berada di kamarnya yang  serba hitam.

“Syukurlah kau datang, aku sedang bosan. Kau paling pintar dengan ide-ide, beri aku ide untuk kebosanan hidupku.” Katanya.

Aku cukup kaget. Mencari-cari kemana sebenarnya maksud pikirannya. Sebenarnya akulah yang lebih ingin memperoleh wejangan. Tetapi, nampaknnya aku pun bosan dengan selalu menuruti orang tua.

“Bagaima kalau kita cat ulang kamarmu?” kataku. Ide yang sekenanya kukatakan karena memang menbuat aktivitas lebih bisa menenangkan kegelisahan daripada sekedar bercerita.

Kawanku menyetujui, kami membeli cat, orange biru dan kuning seperti rambut dan baju karakter manga favorit kami sejak kelas satu dulu; Naruto. Kami pun mengecat ulang kamar itu, mengubahnya dari hitam gothic menjadi orang  jeruk biru samudera dan kuning fajar, keren sekali ternyata hasilnya. Kamar yang tadinya gelap sekali berubah bercahaya memancarkan semangat. Kami puas dengan hasil karya kami. Dalam hatiku aku telah menemukan jawaban atas kegelisahanku. Sebuah titik balik untuk memberanikan diri memulai dan terus berkembang di dalamnya. Menjadi guru. Memberikan inspirasi.

Kini aku berkuliah seperti yang orang tuaku inginkan,  berkuliah di jurusan pendidikan guru sekolah dasar. Kawanku yang gothic pun sekelas denganku juga. Siapa yang menyangka jika dia yang demikian gelap memiliki kemampuan pedagog yang luar biasa. Sarat keterampilan dan pengetahuan, dari pandai bermain musik dan mengelola pembelajaran. Bahkan hal-hal yang tidak kutahu terkait rokok, narkoba dan sejarah tato hingga musik yang menjadi tren negatif kala itu ia tahu dan mampu mengemasnya menjadi materi untuk pendidikan “awareness”.Kawanku , sesosok guru keren  yang menemukan panggilan dirinya untuk mendidik. Sedangkan aku masih sesekali tidak fokus dengan tujuan karena masih ingin mengharapkan menjadi ilmuwan.

 Dan ternyata jika kuselidiki semua itu berhubungan dengan kamar. Kamarku yang lebih sering berantakan daripada rapi, berjejalan buku kertas dan barang lainnnya. Demikian biasa, seperti tidak ada kegigihan karakter didalamnya. Sedangkan kawanku meski tidak terbilang begitu rapim tapi lebih baik dari kamarku dan memiliki detail-detail yang khas yang berkepribadian solid.  Bagaimana kamarnu?

 

Heri Setiyono, S.Pd

NPA anggota PGRI 10094000266

0 Komentar