Pamanda Guru (Fiksimini 8)

 


Oleh : Heri Setiyono, S.Pd

 

Kala hujan menderakan bening tetesannya ke rahim pertiwi yang  lelah dicangkuli manusia. Teringatlah aku akan cerita almarhum yang sahaja itu.

Pamanda yang akrab dipanggil pak guru oleh masyarakatnya. Nama sebenarnya adalah Ahmad Thoyib sudah jarang mulut siapa pun mengucap, memanggilnya. Sehingga orangpun lupa, kebanyakan malah tidak tahu lagi.

Sebagai guru di sekolah dasar mengajar bukanlah satu-satunya kerja. Sering juga pamanda menjadi  imam di surau yang ia dirikan, mengajar ngaji, shalat dan pemulasaraan mayit. Tidak jarang juga menjadi pranata adicara lengkap hingga pendoa di acara kawinan karena entah mengapa warga sering memohon kepadanya meski sudah ia tolak. Lucunya banyak juga yang memintanya mengobati meski bukan dokter dan tabib, meminta memperbaiki radio sudah sering karena wargapun meminta tolong kepadanya. Pokoknya paman menjadi orang pertama yang dimintai tolong warga karena ia seorang guru. Dan guru mereka pikir tahu dan bisa segalanya.

Seperti suatu ketika paman diminta tolong untuk urusan oleh warga. Mereka datang berulang kali hingga terakhir bersama rt dan rw. Paman berulang kali menolak namun karena pak rt dan rw mendesaknya luluh juga ketetapannya. Maka berlangsunglah hajat itu  di lapangan kampung yang tandus. Hajat  itu adalah doa bersama meminta hujan.

Sudah tujuh bulan hujan belum turun. Warga yang sepanjang hidupnya menggantungkan diri pada hasil ladang dan sawah tadah hujan menjadi kalang-kabut mempertahankan hidup. Maka hajat meminta hujan itu mestilah digelar dan kepada paman, orang yang mereka anggap pantas diminta bantuan, kepadanya seorang mereka meminta tolong untuk memimpin acara.

Maka ditunaikanlah hajat itu. Dipimpinnya doa setelah shalat dua rakaat sebelumnya. Shalat istisqo namanya. Saat berdoa inilah bulir-bulir air mata menetes. Setiap orang, laki-laki perempuan dan bahkan anak-anak meneteskan keharuan dari dasar penderitaan. Entah, mungkin Tuhan yang Maha Amat sangat Pemurah, perlahan tetesan hujan turun membasahi wajah-wajah yang tengadah. Menyapu debu di wajah mereka. Mengalir hingga sawah-sawah, ladang dan lapangan yang tandus berkeretap.

Semua warga gembira tidak kurang dari lima puluhan tangan menyalami Pamanda. Namun hujan sehari belum mampu mengusir kegersangan berkepanjangan. Kekeringan mendera mereka kembali. Sawah-sawah yang semula bergairah kembali lunglai, rerumputan yang hendak muncul kembali ke peraduan. Warga pun kembali mendatangi paman. Memohon kembali memimpin doa meminta hujan.

Paman menolak. Bukan karena mengapa, lebih karena suatu  kekhawatiran. Tetapi apa daya semakin ditolak warga semakin bersikeras maka dilakukan lagi hajat kedua. Paman kembali memimpin doa. Kali ini tidak ada isak tangis, hanya beberapa lenguhan dan harapan yang kelewat memaksa. Apakah Tuhan bisa dipaksa, nampaknya ini suatu persoalan. Sejam berlalu belum juga hujan turun. Maka Paman berdoa lagi untuk ketiga kalinya dan sejurus kemudian  langit menggelap, awan kelabu entah darimana hadir dan turunlah hujan rintik. Hujan pun menjadi deras dan kekhawatiran paman menjadi nyata.

Kekhawatiran itu adalah dikultuskan, dianggap magis dan mempunyai keistimewaan. Ia tak mau, ia orang biasa, bukan Kyai bukan Alim, bukan Wali. Ia tak mau dirinya justru menjadi penggeser keutuhan iman keyakinan warganya. Mengalirlah air matanya bersama aliran hujan yang makin deras membasuh bumi.

Itulah penggalan kisah pamanda.  Kucukupkan sampai disini karena hujan kian deras, dan aku mulai kedinginan dibuatnya.



Heri Setiyono, S.Pd, Penulis adalah anggota PGRI dengan NPA 10094000266


0 Komentar