Oleh : Heri Setiyono, S.Pd
Kala hujan menderakan bening
tetesannya ke rahim pertiwi yang lelah
dicangkuli manusia. Teringatlah aku akan cerita almarhum yang sahaja itu.
Pamanda yang akrab dipanggil pak guru
oleh masyarakatnya. Nama sebenarnya adalah Ahmad Thoyib sudah jarang mulut
siapa pun mengucap, memanggilnya. Sehingga orangpun lupa, kebanyakan malah
tidak tahu lagi.
Sebagai guru di sekolah dasar
mengajar bukanlah satu-satunya kerja. Sering juga pamanda menjadi imam di surau yang ia dirikan, mengajar ngaji,
shalat dan pemulasaraan mayit. Tidak jarang juga menjadi pranata adicara lengkap
hingga pendoa di acara kawinan karena entah mengapa warga sering memohon
kepadanya meski sudah ia tolak. Lucunya banyak juga yang memintanya mengobati meski
bukan dokter dan tabib, meminta memperbaiki radio sudah sering karena wargapun
meminta tolong kepadanya. Pokoknya paman menjadi orang pertama yang dimintai
tolong warga karena ia seorang guru. Dan guru mereka pikir tahu dan bisa
segalanya.
Seperti suatu ketika paman
diminta tolong untuk urusan oleh warga. Mereka datang berulang kali hingga
terakhir bersama rt dan rw. Paman berulang kali menolak namun karena pak rt dan
rw mendesaknya luluh juga ketetapannya. Maka berlangsunglah hajat itu di lapangan kampung yang tandus. Hajat itu adalah doa bersama meminta hujan.
Sudah tujuh bulan hujan belum
turun. Warga yang sepanjang hidupnya menggantungkan diri pada hasil ladang dan
sawah tadah hujan menjadi kalang-kabut mempertahankan hidup. Maka hajat meminta
hujan itu mestilah digelar dan kepada paman, orang yang mereka anggap pantas
diminta bantuan, kepadanya seorang mereka meminta tolong untuk memimpin acara.
Maka ditunaikanlah hajat itu. Dipimpinnya
doa setelah shalat dua rakaat sebelumnya. Shalat istisqo namanya. Saat berdoa
inilah bulir-bulir air mata menetes. Setiap orang, laki-laki perempuan dan
bahkan anak-anak meneteskan keharuan dari dasar penderitaan. Entah, mungkin
Tuhan yang Maha Amat sangat Pemurah, perlahan tetesan hujan turun membasahi
wajah-wajah yang tengadah. Menyapu debu di wajah mereka. Mengalir hingga
sawah-sawah, ladang dan lapangan yang tandus berkeretap.
Semua warga gembira tidak kurang
dari lima puluhan tangan menyalami Pamanda. Namun hujan sehari belum mampu
mengusir kegersangan berkepanjangan. Kekeringan mendera mereka kembali. Sawah-sawah
yang semula bergairah kembali lunglai, rerumputan yang hendak muncul kembali ke
peraduan. Warga pun kembali mendatangi paman. Memohon kembali memimpin doa
meminta hujan.
Paman menolak. Bukan karena
mengapa, lebih karena suatu kekhawatiran. Tetapi apa daya semakin ditolak
warga semakin bersikeras maka dilakukan lagi hajat kedua. Paman kembali
memimpin doa. Kali ini tidak ada isak tangis, hanya beberapa lenguhan dan harapan
yang kelewat memaksa. Apakah Tuhan bisa dipaksa, nampaknya ini suatu persoalan.
Sejam berlalu belum juga hujan turun. Maka Paman berdoa lagi untuk ketiga kalinya
dan sejurus kemudian langit menggelap,
awan kelabu entah darimana hadir dan turunlah hujan rintik. Hujan pun menjadi
deras dan kekhawatiran paman menjadi nyata.
Kekhawatiran itu adalah
dikultuskan, dianggap magis dan mempunyai keistimewaan. Ia tak mau, ia orang
biasa, bukan Kyai bukan Alim, bukan Wali. Ia tak mau dirinya justru menjadi
penggeser keutuhan iman keyakinan warganya. Mengalirlah air matanya bersama
aliran hujan yang makin deras membasuh bumi.
Itulah penggalan kisah pamanda. Kucukupkan sampai disini karena hujan kian
deras, dan aku mulai kedinginan dibuatnya.
0 Komentar