Oleh : Heri Setiyono, S.Pd
Bila kalian membicaraan perbedaan, maka aku akan
menceritakan kisah tentang muridku, Dwi.
Dwi si ramah yang aneh. Aneh karena terkadang entah dari
mana dia mendapatkan kata-kata bijak keluar dari mulutnya. Tanpa dinyana dan tidak
terpikirkan kapasitas seorang Dwi bisa mengatakan kalimat-kalimat yang dalam maknanya.
Pada suatu ketika ada tamu datang ke sekolahku. Dia mencariku.
Aku sedang mengambil wudhu. Maka datanglah tamu itu kekantorku, tak ada orang
karena memang guru-guru lain sudah berangkat rapat KKG, sedangkan aku tetap di
sekolah memberikan tambahan les . Dwi yang melihat tamu itu datang mendekatinya. Badannya yang besar lagi
tambun dan setinggi orang dewasa menjadikannya tidak seperti murid biasa,
malahan terlihat seperti guru. Ditambah lagi dengan seragam sekolah kala sabtu dipakai adalah batik bebas dengan pantalon
panjang. Lengkap sudah penampilah seperti guru. Hanya saja, matanya yang bulat
lucu dan keramahan yang selalu tersungging di wajah menandakan dia berbeda
dengan orang dewasa yang pusing memikirkan dunia.
Tamu itu menanyakan aku kepada Dwi. Dwi hanya mesem, mempersilahkan masuk tanpa tahu
harus menjawab apa saat tamunya mempertanyakan dimana aku.
Sesaat kemudian aku muncul.
“Ada apa Bu? Bisa saya bantu?” Kataku sembari membenarkan
lengan kemeja batik panjangku yang kusingkap.
“Saya mencari Pak Heri, ada yang mau saya sampaikan terkait
anak saya, Marcel,” kata tamuku itu.
“Oh iya, silahkan masuk dulu Bu. Silahkan ditunggu sebentar saya
shalat dulu.” Kataku. Waktu itu memang matahari sudah mulai condong, dan adzan
dhuhur sudah sedari tadi. Sedangkan aku baru balik ke sekolah setelah mengambil
fotocopyan soal yang cukup jauh dari sekolah. Tak ingin menunda-nunda dan sudah
terlanjur wudhu maka aku terpaksa membiarkan tamuku menunggu barang sebentar.
Untungnya tamuku mengerti. Ia menunggu, meski ada kekalutan
ingin segera menyampaikan sesuatu. Aku tahu itu pasti sesuatu yang cukup
penting, terlebih menyangkut muridku yang entah kenapa sudah tiga hari ini
menghilang.
Kulangkahkan kaki ke ruang mushala. Dwi malah mengikutiku
tidak kembali ke kelas.
“Pak Heri mau shalat ya, saya ikut ya pak. Biar ga masuk
neraka. Kan orang dikubur banyak yang pengen shalat. Tapi sudah telat, ya pak ya…?” Katanya.
Aku kaget. Muridku Dwi
yang ramah, yang suka tersenyum, siswa kelas enam dengan badan bongsor itu entah
darimana bisa berkata begitu. Sesuatu yang kadang kulupa kalau ibadahku akan
dipertanggung-jawabkan dan sudah terlambat jika nyawa sudah sampai kerongkongan.
“Yaaa…Cepat wudhu, biar tidak kelamaan Ibunya Marcel nunggu..”
Kataku menyuruh Dwi.
Dwi lalu lari dengan badan bongsornya ke toilet, karena
hanya disana tersedia kran untuk wudhu. Selesai
shalat aku bilang ke Dwi.
“Dwi kalau besok masuk syurga Pak Heri diajak ya…”
“Hee, nggih pak…” katanya takzim dengan sebuah senyuman.
Sepuluh tahun berlalu secepat cerita ini dibaca. Aku telah
pindah tempat kerja. Sekarang aku tak tahu bagaimana nasib Dwi, dimana dia,
masihkah tinggal bersama orang tuanya dan sudah bisakah dia hidup mandiri. Yang
kutahu Dwi adalah muridku yang
mengajarkan perbedaan dalam hidup kawan-kawannya. Kemampuan belajarnya yang
lambat hanya setara anak kelas tiga. Tak heran itu membuatnya selalu mendapat
nilai empat dan lima. Nilai sempurna untuk ukuran kemampuan kognitifnya yang
berbeda dengan anak lain, karena dia
Tunagrahita ringan.
Heri Setiyono, S.Pd , Anggota PGRI dengan NPA 10094000266
5 Komentar
Mudah2n Dwi memiliki masa depan yg cemerlang wlpn dalam keterbatasan aamiin...
BalasHapusSeorang Dwi yang menginspirasi. Ada keistimewaan di balik kekurangannya.
BalasHapusBagaimanapun juga Dwi anak istimewa.
BalasHapusSaya malah kepikiran dengan ibunya Marcell. He he he ... Dewi ... Dewi ....
BalasHapusDewi anak pintar.
BalasHapus