Oleh: Heri Setiyono
Jika di kelas enam B memiliki Pak Ikhsan yang cerdas komputer
meski terbilang tidak muda . Di kelas kami, Kelas A, punya seorang guru yang “gapyak”
berkebalikan dengan Pak Ikhsan. Bu Kus namanya. Meskipun begitu, aku
mengaguminya sebagai pakar bahasa Indonesia
jempolan.
Ketika upacara
bendera, Bus Kus mampu melihat
hingga kebelakang barisan siswa putra karena demikian jangkung. Apalagi ketika
menjadi pembina upacara, Annis kecil yang “nyempil” di pojok belakang mampu ditegurnya . Tri dan Roki juga sering kena semprot karena
paling usil. Pernah mereka berdua mencemplungkan sekawanan kecebong kedalam
akuarium kelas. Mereka pikir lucu. Annis yang mengira itu ikan malah senang
sekali memperhatikan para kecebong itu megal-megol. Mas Koki kami yang lucu
sampai kaget, matanya melotot. Eh, ikan mas koki kan memang melotot dari lahir
ya.
Aku ngeri kalau kawanan kecebong itu jadi besar. Kelas kami
pasti banyak kodok. Kung-Kong-Kung-Kong berisik sekali. Anehnya meski banyak
murid bandel di kelas, Bu Kus selalu menertawakan kenakalan kami. Mungkin tak
pernah kulihat wajah marah di dirinya.
Suatu hari aku membantu Mas Sugeng membersihkan ruangan TU.
Tidak hanya aku, Cintya, Nuna dan Hasna juga ada. Entah mengapa pekerjaan
bersih-bersih selalu yang disuruh anak perempuan. Padahal nanti ada tambahan
pelajaran dari Pak Agus untuk Ujian Nasional. Bagaimana mau konsentrasi kalau
aku capek.
“Tiara, bantu beresin kertas print-print-nan, bisa ya,”
pinta Mas Sugeng.
Aku mengangguk malas. Pengen cepat-cepat ke warung Mbok Yem.
Membeli es buat sekedar mengusir kering tenggorokan. Sedang kawan lainnya sudah
selesai dengan tugasnya dan ngacir kesana.
“Nanti kalau printernya sudah berhenti, kertas-kertasnya
dirapikan lalu taruh meja Bu Lutfi ya. Aku mau pulang dulu. Laper.” Kata Mas
Sugeng sambil lalu menuju pintu.
Rumah Mas Sugeng hanya di belakang sekolah. Setiap jam dua
belas ia pasti pulang makan siang.
Tugas bersih-bersihku hampir beres tinggal menata kertas,
mudah. Tinggal kertas yang keluar dari printer dirapihkan dan dikumpul di meja,
selesai. Tetapi aku lupa, printer ternyata belum selesai mengeprint aku
menyenggol kabel di belakang benda kotak putih itu. Printerpun berhenti entah
kenapa. Celingukan karena bingung, akhirnya kutinggal pergi saja, kertas-kertas
di tanganku kutaruh meja sekenanya. Ketika
keluar kulihat dari sudut mataku, Bu Kus menuju kantor TU.
Esok hari nya ketika aku membantu membawakan buku-buku tugas
siswa ke meja Bu Ningrum. Aku menguping pembicaaran Bu Kus dan Bu Wid. Bu Kus
nampak serius bercerita, makanya aku sedikit mencuri dengar.
“Bu, di kantor TU ada setan e. “ Kata Bu Kus dengan muka serius.
“Kemarin to Bu, pas aku ngambil kapur di kantor TU. Kok,
sepi pikirku. Ujug-ujug to Bu, printer kantor hidup. Nge-print sendiri.
Langsung lari keluar kantor aku. Serem, Bu.” Kata Bu Kus.
Bu Wid yang mempercayai ada hantu di sekolah malah semakin
membumbui kejadian itu. Maka jadilah Bu Kus makin bergidik. Padahal sebenarnya
akulah yang tak sengaja membuat printer macet sebelum selesai mencetak. Wajar jika
printer itu kembali mencetak ketika tidak macet lagi. Dalam hatiku, aku merasa
bersalah kepada Bu Kus. Tapi biarlah, toh memang ada hantu di sekolahku yang
sering main ayunan di bawah pohon angsana. Sayangnya cuma aku yang bisa
melihatnya.
1 Komentar
Sayangnya cuma aku yang bisa melihatnya.
BalasHapusLohh... berarti ada kemungkinan printernya masih macet... heheheh