Oleh : Heri Setiyono, S.Pd
Apakah
benar kunang-kunang tercipta dari kuku orang mati? Jika benar maka tidak salah
aku kumpulkan kunang-kunang dalam toples untuk kado ulang tahunmu.
Aku
selalu mengingatmu. Hafal hari lahirmu sampai tiap hari ulang tahunmu aku
datang. Namun itu dahulu. Kini segalanya berbeda, kali ini aku kirimkan kado
sebab aku tidak bisa datang padamu. Aku terlalu berharap kau yang mencariku. Nyatanya
kau tidak pernah mencariku.
Di
sini, diatas sebuah kapal yang memburu paus di lautan, kukirimkan kabar. Kabar yang
hanya terbawa bersama angin yang menghempas buritan dan ombak. Jikalau kabar
itu sampai ke tempatmu maka baguslah. Setidaknya akan ada beberapa kerinduan
dalam ingatan yang akan bangkit dari kuburnya.
Tahukah
kau semenjak aku gagal dalam hidupku, kau tinggalkan aku dan aku pun pergi
mengembara hingga bergabung bersama para pemburu minyak paus ini. Setiap hariku berisi langit-langit yang
kelabu, segalanya seperti senja yang berdarah, merah dan akan terus abadi sebab
yang fana adalah waktu bukan?
Ketika
di lautan yang tenang, aku menemukan banyak kunang-kunang, bercahaya bersama
gemintang yang menggantung diatas sana. Entah mengapa kunang-kunang berada di
lautan. Mungkin mereka adalah kuku para lanun yang bersemayam jiwa perompak
yang mati ditelan badai? Aku tak tahu.
Kunang-kunang
itu kutangkap lalu kubungkus dalam sebuah botol kaca. Di dalamnya masih berbau
laut dan banyak butiran mutiara. Kukirimkan dengan mengatkan botol itu di leher
camar yang kubisikkan agar mencarimu.
Sayangnya
aku lupa satu hal. Dirimu adalah seorang yang tidak mengerti keindahan sebuah
proses. Bagimu hasil adalah segalanya. Mana bisa kau mengerti bagaimana
susahnya kunang-kunnang itu untuk ditangkap. yang beterbangan diatas lautan
tenang yang demikian dalam menghanyutkan.
Sudah
kubayangkan dalam benakku, kau buang pemberianku.
“Sampah,”
itulah yang selalu kau ucapkan terhadap hal yang sepele.
Sebagaimana
guru kita dahulu yang menyudutkanku kala aku mendapatkan nilai sembilan
sedangkan sebelum-sebelumnya selalu berlangganan nilai di bawah lima. Namun siapalah
yang akan mempercayai aku, anak bengal yang kerasukan sehingga belajar dan
tiba-tiba pintar.
Kunang-kunang
dalam botol kaca akan berterbangan keluar. Setelah sebelumnya wadah itu pecah
karena kuatnya bantingan tanganmu. Sebagaimana kuatnya bantingan guru kita kala
melemparkan naskah karyaku karena dianggap menjiplak milikmu. Padahal aku tahu
kaulah yang telah mengkhianatiku.
Aku
menjadi mengerti kau menjadi temanku karena mengambil untung dariku. Dan aku
ikhlaskan. Aku bukan orang penuntut balas dan selalu menerima kekalahan. Walaupun
kau bakar sekalipun rambutku yang panjang tidak akan kutuntut balas membakar
milikmu.
Kunang-kunang
itu pasti akan betertangan kebingungan, berkelip-kerlip beterbangan
serampangan. Dan kau yang selalu marah, jengkel dan kasar akan mengambil pistol
dan menembakinya. Tahukah kau kunang-kunang susah dibidik. Ingatkah kau ditegur
dosen penguji penelitianmu karena menggunakan metode terlalu berlebihan untuk
penelitian yang sederhana. Seperti menembak nyamuk dengan bazooka katanya.
Ah,
sudahlah. Segala hal yang kau lakukan selalu berakhir dengan bencana. Kadang aku
berhara kau berubah menjadi paus dan berenang-renang mengarungi samudera yang
demikian luas.
Agar
aku bisa memburumu, dengan tombak beliung panjang. Kubayangkan kau adalah paus,
dan aku akan menancapkan tombakku tepat di kepalamu, agar darah menyeburkan ke
udara dan memerahkan cakrawala.
Tetapi
aku hanya berangan. Selebihnya aku terkurung dalam kamar isolasi rumah sakit
jiwa. Semua ini tidak akan terjadi seandainya kau tidak merundungku di sekolah
dahulu. Wahai seseorang yang selalu
kuanggap sahabat terbaikku.
…
Heri
Setiyono, S.Pd
NPA
anggota PGRI 10094000266
0 Komentar