Oleh : Heri Setiyono, S.Pd
“Sebenarnya, kita semua adalah
guru, entah kita menyadarinya atau tidak.” – Maya Angelou
Kutipan itu adalah pengingat
bahwa saya seorang guru, semua wali murid dan orang tua adalah guru para murid
juga guru. Dan satu muridku yang
membuatku terkesan, dialah Ghazali, si murid cerdas istimewa.
Lolos usia SMA kuhabiskan waktuku
hidup di Kota Gudeg, Yogyakarta. Aku tinggal di sebuah kos-kosan kecil bersama
kelima kawan yang berbeda suku dan budaya. Tidak heran, aku yang suka belajar bahasa menjadi cepat
tertarik dengan kawan-kawan yang selalu berbahasa daerahnya di setiap
kesempatan. Jadilah aku memiliki kemampuan mengerti dan mampu berbahasa sunda,
minang hingga bahasa jawa ngapak yang sangat lucu di telinga.
Kemampuanku berbahasa membuatku
mudah bergaul. Sebagai guru les privat pun kemampuan ini menjadi kunci larisnya
usaha sampinganku. Karena hal itu nampaknya membuat kedekatan dan kenyamanan
belajar menjadi tercipta.
Tidak kurang dari sepuluh tempat
setiap minggunya kudatangi untuk mengajar les. Dari les privat itulah aku
berjodoh, bertemu dengan pria kecil yang tampan rupawan lagi cerdas luar biasa.
Ghazali namanya. Seorang anak usia sembilan tahun yang tergolong lebih dari
jenius. Nilai IQ-nya jauh melebihi tingkat anak-anak lainnya yang berkisar 100
hingga 120. Karenanya dia termasuk anak cerdas istimewa di sekolahnya.
Ghazali mempunyai kemampuan
menyerap ilmu yang sangat cepat, sambil lalu menjuggling bola sepaknya pun ia
cepat mengerti konsep-konsep perhitungan cepat operasi pembagian pecahan. Hanya
saja ia memiliki energi yang luar biasa banyak, aktifnya bukan main dan ketika
berbicara kecepatannya menyamai laju Michael Schumaker legenda pembalap F1. Terkadang
aku berpikir apakah itu implikasi dari kemampuannya bisa memaksimalkan daya
otaknya.
Karena itulah setiap pertemuan
strategiku mengajar harus selalu berbeda, kumpulan latihan yang biasa harus
dikembangkan lebih menantang. Matematika menjadi pelajaran realistic yang
mengasah logika bernalar. Dalam mengajar sains dan bahasa Indonesia harus
dengan pembingkaian dan tumpukan pengetahuan pendukung. Sebab tidak jarang
muriku ini akan menguji dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengusik nalarnya. Yang
jelas pertanyaan itu sering tidak terpikirkan oleh anak regular lainnya.
“Mister,” panggilnya terhadapku. “Air
liur dan amylase di pankreas memangnya sama?” tanyanya. Pertanyaan seperti ini
jarang bahkan tidak pernah ditanyakan oleh muridku sebelumnya. Bahkan hingga
kini pun aku mengajar di sekolah kurasa tidak ada yang bertanya seperti Ghazali ini.
Kedua enzin itu berbeda memang
tetapi di sekolah dasar tidak dibahas hingga mendalam, mungkin baru di SMA akan
mendapatkan perbedaan itu. Itu pun kebanyakan menganggap sama. Maka, jadilah
aku menjelaskan keduanya yang sama dalam fungsi namun nyatanya berbeda.
Pertanyaan lain pun kadang
membuatku harus mengumpulkan informasi dari literatur terlebih ketika ia
bertanya tentang sejarah, pergerakan melawan penjajah dan materi ilmu
pengetahuan sosial lainnya. Terus terang saja aku lemah di pelajaran itu sedari
dulu.
Jadilah aku terkadang yang malah
diajari Ghazali untuk menjadi pembelajar sejati, belajar dari buku-buku untuk
selanjutnya meng-upgrade kapasitas diri. Amboi, aku kembali belajar banyak
untuk hanya untuk memeberikannya les privat selama satu setengah jam.
Hal yang menjadi unik adalah.
Ghazali selalu meminta cepat menuntaskan pembelajaran untuk selanjutnya
mendengarkan dongeng dan ceritaku. Hal yang selalu membuatnya betah belajar
denganku. Awalnya aku hanya bercerita dengan masa kecilku yang dekat dengan
dunia kali. Bermain di sungai, menangkap ikan dan berenang persis acara televise
Si Bolang. Tidak terduga ia sangat menikmatinya, memang kehidupannya sangat
jauh dari nuansa alam desa, semenjak lahir berada di kota dengan hiruk pikuk
kehidupan.
Maka dari itu ia selalu menagihku
bercerita tentang apa saja di akhir sesi belajar. Hal itu menjadi kesempatan
buatku memberikan cerita-cerita softskill, mengajarkan nilai lebih dari sekedar
kecerdasan yaitu keterampilan dan mental karakter baik lagi kuat. Terkadang aku
sering mengarang dongeng dan meramunya menjadi cerita. Ghazali suka dan mampu
membuatnya menyimak dengan seksama.
Ghazali adalah mutiara yang
membutuhkan dipoles. Dengan kemampuannya ia bisa menjadi generasi yang sangat luar biasa. Hanya saja ia tidak akan melirik
jika gurunya tidak mampu menyajikan
dengan menarik. Ia akan berlarian, bermain bola atau kegiatan apapun
menyalurkan energinya. Sikap cuek yang kadang membuat jengkel guru di kelasnya.
Tidak heran jika guru di
sekolahnya menyarankan agar orang tuanya memanggil guru les. Bukan karena
nilainya jelek, karena memang tidak jelek juga tidak pula baik sekali, karena
rerata delapan puluh di tiap pelajaran. Akan tetapi karena agar lebih bisa
mengeluarkan potensi sebenarnya.
Seusai memberikan les sebenarnya
aku ingin segera pulang, maklumlah rasanya letih belum benar-benar rehat
sepulang kuliah hingga malam memberikan les privat di beberapa tempat. Namun,
Ibu ghazali justru mengajakku mengobrol, membicarakan tentang perkembangan
anaknya. Aku pun melayani sebagai professional servis dan terkadang pertemuan
les privat menjadi lebih lama.
Dari obrolan itu lebih banyak
kepada konsultasi untuk kebaikan anaknya. Aku pun berusaha mendengarkan dengan
baik dan jika dimintai saran maka kuberikan dengan segenap pengetahuan yang
kutahu. Dari situlah aku dapati ternyata beberapa sikap berhubungan langsung
dengan karakter dan perilaku sang ibu baik maupun buruk. Maka, untuk
perkembangan belajar anak dibarengi juga dengan perubahan sikap dan perilaku
orang tuanya. Semula yang kurang care dengan sekitar berubah menjadi lebih
peduli. Sering mengacuhkan orang lain berubah memperhatikan. Dan segala yang
dirasa kurang baik diperbaiki. Ternyata perubahan yang dilakukan orang tuanya
terhadap diri sendiri berimbas pula kepada sang anak.
Mungkin memang benar jika
kekuatan terbesar untuk membentuk anak kita menjadi baik, cerdas, dan taat adalah
dengan kita menata qolbu kita sendiri lebih baik. Karena pengalaman inilah
hingga kini aku selalu berusaha agar orang tua wali murid di sekolah terutama
di kelasku mengajar untuk selalu memanajemen qolbu karena perubahan karakter
anak bersumber dari energi hati orang tuanya. Nah !
Heri Setiyono, S.Pd, educator,
juru tulis, penikmat tokoh dan pemustaka
NPA anggota PGRI 10094000266
0 Komentar