Sakola


 

Oleh Heri Setiyono, S.Pd

 

Pernahkah dalam hidupmu mengejar pendidikan hingga harus jauh dari rumah. Aku salah satu dari mereka yang dipenuhi rindu dengan rumah karena mengenyam pendidikan di negeri orang yang kupercaya untuk masa depanku.

Di tengah malam yang dingin, aku terbangun perutku lapar sekali. Tak tertahankan. Sedangkan tidak tersedia apapun untuk mengganjal perut di kamar flat kecil yang paling murah bisa kusewa ini selain air keran. Saat itulah keinginan untuk pulang memuncak. Merindukan Ayah dan Ibu yang masih selalu sama sedari dahulu dengan kehidupan bertaninya yang papa nan sahaja.

Aku sering merasakan hal seperti ini. Ingin rasanya pulang. Rindu masakan ibu, ingin rasanya memakan sayur bayam buatan ibu yang sayurnya dipetik ibu dari kebun sendiri di belakang rumah. Dengan sambal tomat sederhana pun dari cabai hasil kebun sendiri. Nasi hangat, tempe goreng dan segelas teh panas. Syahdu.

Kurindu sore bersama Ayah membicarakan buah-buah salak yang sebentar lagi bisa dipetik meskipun beberapa rase menggasaknya lebih dulu. Kurindu menikmati senja itu dengan teh nasgitel (Panas legi kentel) yang menghangatkan suasana itu.

Pernahkah dalam hidupmu menemukan berbagai kesusahan dalam memperjuangkan dirimu sendiri untuk tetap bersekolah. Aku salah satu dari mereka yang bukan siapa-siapa ingin tetap bersekolah. Di saat himpitan keuangan sama-sekali untuk beli sepatu dan seragam baru pun tidak ada.

Teringatlah aku dan beberapa temanku semasa sekolah  dasar. Di sekolah yang kami sebut sakola yang hampir roboh itu kami mereka-reka nasib kami. Memimpikan masa depan yang kadang hanya angan dan akan berlalu bersama angin musim layangan.

Pendidikan bagi anak-anak di sakola adalah hal yang mahal.  Orang tua kami tidak mengerti sekolah dan pendidikan adalah jalan untuk mengubah nasib. Pendidikan adalah hak anak tidak dianggap menjadi prioritas. Tidak jarang waktu belajar di sekolah kalah oleh kepentingan kewajiban kami membantu orang tua mengurus sawah-ladang, mengusiri burung-burung pipit yang  memakan bulir padi.

Terbayang di benakku lima anak kecil dengan seragam merah putih lusuh dan bertelanjang kaki bercengkrama di kelas sakola dari bilik-bilik akasia. Mereka mereka-reka nasibnya sendiri  yang tidak pasti dari sekolah yang hampir roboh ini.

Dari kelimanya adalah aku. Dimasa itu aku harus menempul jarak cukup jauh agar bisa bersekolah. Jarak itu kulalui dengan berjalan kali setiap hari.

Maka jika kini aku pun bukanlah orang yang malas menempuh jarak dua ratus meter menuju tujuanku dengan berjalan kaki bukanlah hal istimewa. Seperti hanya orang-orang di negeri asing ini. Berjalan kaki sudah seperti ciri khas.

Kini memang aku sedang di negeri bunga tulip berasal, Belanda. Aku sedang menempuh pendidikan doctoral. Memperjuangkan diri dan membawa harapan orang tua. Mewujudkan bahwa anak desa terpencil sepertiku mampu mengejar pendidikan tinggi.

Sakola kelasku dimasa kecil. Adalah tumpuan semangat yang membuatku selalu memperjuangkan pendidikan. Di sekolah yang hampir roboh itu aku tidak pernah membayangkan tangan takdir membawaku hingga jauh. Yang kuingat dahulu hanya “Aku ingin sekolah.”


Heri Setiyono, S.Pd

NPA anggota PGRI 10094000266

0 Komentar