Oleh : Heri Setiyono
Sekolah ramah anak demikianlah bunyi baliho besar di depan
gerbang. Sayangnya sekolah itu memiliki Zubair yang suka teriak-teriak marah
dan mengamuk. Maka, kata ramah itu kiranya perlu direvisi. Begitulah pandangan beberapa
orang tua.
Seperti halnya pagi ini, Zubair sudah teriak-teriak
mengusiri kucing-kucing liar dengan galak. Seisi sekolah dibuat jengkel karena
berisik. Beberapa anak melongok keluar jendela, mendapati Zubair berlari-lari
pengkor karena sebelah kakinya lebih pendek, menuju gudang. Mengambil sapu dan
kembali menyapu lagi sampah-sampah berserakan yang subuh tadi telah ia dibersihkan.
Belum selesai menjelaskan konsep pecahan konsentrasi Pak
Bisri pecah lagi. Kali ini Zubair teriak-teriak lebih keras. Pak Bisri menghela
nafas, menenangkan kejengkelannya yang kerap terganggu konsentrasi karena
teriakan Zubair. Dilanjutkannya menjelaskan tanpa memedulikan Zubair, anak-anak
pun tidak berani melihat keluar kelas karena takut kegalakan Pak Bisri yang
terkenal Killer.
Ketika Pak Bisri akan menyampaikan bagaimana menyederhanakan
pecahan konsentrasinya kembali terpecah persis seperti potongan gambar pecahan
di buku siswa. Sejurus kemudian, salah seorang murid yang baru selesai buang
hajat di toilet datang melapor.
“Pak…Pak Guru itu…itu pak. Anaknya Pak Zu dipukuli.” Kata
anak itu.
Pak Zu adalah panggilan yang dilayangkan anak-anak kepada
Zubair meski beberapa anak laki-laki kelas enam yang badung-badung itu sering
memanggil Bisu, Bolot dan julukan jelek yang entah mereka dapat darimana. Mungkin dari
teve atau youtuber buruk yang mereka anut.
Kali ini Pak Bisri tidak tinggal diam. Maka keluarlah ia
dari kelas. Dilihatnya Zubair memukul-mukul punggung anaknya. Anaknya yang
masih berusia lima tahun menangis, berteriak-teriak tanpa makna kata yang dapat
diterima telinga.
“Zubair… jangan…apa yang kau lakukan?” teriak Pak Bisri
sambil setengah berlari menghampiri.
Tetapi Zubair masih saja memukuli punggung anak itu. Malah makin keras.
Zubair melihat Pak Bisri dengan berkaca-kaca. Dia tak mampu
berkata dengan jelas karena gagu, dan tidak bisa mendengar jelas karena
tunarungu.
‘’ma..kau….pe…en…o…long” Kata Zubair setengah
memoncong-moncongkan mulutnya sembari tangannya melambai entah apa artinya.
Yang tertangkap mata hanya kekalutan.
“Anakmu kloloden
permen….?” Tanya Pak Bisri dengan perlahan. Ia tahu Zubair bisa membaca bibirnya meski
tidak mendengar perkataannya.
“i…aaa.” Zubair menganguk-anggukan kepalanya
“Ambil air minum cepat. Air minum.” Pak Bisri memeragakan
minum dengan tangannya.
Zubair cepat-cepat mencari air minum. Pak Bisri berusaha
menolong anak Zubair yang juga tunaganda seperti bapaknya. Sayangnya sang anak
lebih menderita karena juga tunagrahita. Makanya ia sering menangis
berteriak-teriak jika mengingikan sesuatu. Padahal ayahnya tidak dapat
mendengarnya sehingga suara anak itu lebih sering mengganggu warga sekolah dibandingkan
didengar ayahnya. Zubair yang ditinggal mati istrinya itu juga sering mengamuk
karena sering digoda ledekan dan korban
kejahilan anak-anak laki-laki yang badung. Mereka menganggap menggodanya
menyenangkan. Padahal Zubair adalah orang baik. Tidak peduli hari libur atau
tidak sekolah selalu rapi dan bersih karena jasanya.
Untunglah ada Pak Bisri yang membantu mengeluarkan permen yang
nyangkut di tenggorokan anak Zubair. Entah
darimana bocah kecil itu mendapatkan permen, padahal lidahnya saja tidak
memiliki motorik yang baik untuk mengulum, cuma bisa menelan.
“Lain kali jangan kau kasih permen. Apalagi permen karet. Ya !” Kata Pak Bisri kepada Zubair. Matanya serius
menatap bola mata lawan bicaranya.
Zubair hanya bisa
menggeleng-geleng dengan mulut berusaha mengatakan tidak. Pak Bisri meminumkan air dan memijit-mijit
anak yang kepayahan itu. Nafas anak itu terkuras karena mampet terganjal permen
yang nyangkut di tenggorokannya.
Sebenarnya aku tahu siapa yang memberi permen itu kepada si bocah. Ada murid yang membagikan permen kepadanya. Hal itu
dilakukan karena kasihan terus-terusan bocah
cilik itu melihat anak-anak asyik makan jajan pagi tadi sebelum masuk kelas.
Bocah itu tidak punya uang jajan, terlihat dari tadi hanya menggigiti ujung
bajunya . Akan tetapi, apa dayaku berusaha melarang sedangkan teriakanku tidak
dapat mereka dengar. Karena aku hanya keset yang setia menemanimu dipel Zubair setiap pagi dan sore.
…
Heri Setiyono, S.Pd
No. pokok anggota PGRI 10094000266
Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Blog PGRI “Menulis di Blog
Jadi Buku”
4 Komentar
Wow luar biasa fiksi mininya, sangat menarik..
BalasHapusSaya ingat "kelolodan" es batu, Pak. alhamdulillah orang tua saya normal. Terima kasih sudah membagikan sebagaian realita kehidupan, bahwa ada di antara sesama kita yang memiliki "kekurangsempurnaan". Luar biasa, amanat ceritanya.
BalasHapusMenggambarkan realita yang kadang terjadi di sekitar kita dengan bagus.
BalasHapusKeren Bu.
BalasHapus