Pak Sukab membolak-balik map anggaran, memijit-mijit
kalkulator, dahinya berkerut. Runyam. Diambilnya kertas dan pulpen diulanginya
lagi hitungan. Kembali dahinya mengernyit, kali ini rambutnya yang tinggal
beberapa helai juga tampak tegak. Otaknya memanas.
“Sudah buat saja surat pesanan soalnya, uangnya ambil saja
dahulu darimana saja,” kata Cik Gu Besar seraya menggeser kursi yang senyatanya
berderak enggan ditimpa beban hampir satu kwintal.
“Tapi bagaimana mungkin Bu, kita tidak memiliki anggaran
untuk itu. Adapun keuangan hampir habis untuk membayari hutang sekolah. “ Jawab
Sukab lirih. Guru kelas enam, guru paling senior dan merangkap bendahara
sekaligus pembina pramuka itu lunglai tidak menemukan celah mengutak-atik
keuangan.
“Ya sudah, aku pinjami uang. Berarti sampai bulan ini utang
sekolah kepadaku menjadi dua belas juta ya.” Ucap Cik Gu Besar seraya
mempersiapkan buku bon dan pulpen seolah semua telah direncanakan.
Sukab hanya bisa terdiam lesu. Dia memahami betul tidak
mungkin guru miskin sepertinya mampu memberi talangan dana. Semua bergantung
pada kepala sekolahnya. Meskipun lebih sering jika kepala sekolahnya
mengibulinya. Belanja-belanja kebutuhan sekolah misalnya, tahu-tahu sudah ada
di meja kepala sekolah. Rupaya atasannya
yang telah berbelanja dengan uang pribadinya dan kemudian meminta ganti kepada
berdaharanya itu. Tentu saja Sukab harus rela memberikan ganti meskipun dia
berulang kali dikemplang karena mengganti melebihi anggaran seharusnya yang
telah direncanakan.
Kali ini sukab hanya pasrah. Ia menyadari betul
posisinya yang tidak bisa membantah. Maka
ia pun akhirnya membuat surat pesanan untuk membeli lembaran soal ujian.
Soal-soal pesanan itu nantinya akan digunakan untuk ujian
tengah semester satu, dan akan terus begitu berulang hingga soal penilaianakhir
semester. Senyatanya soal-soal itu banyak yang tidak sesuai mengukur kompetensi
para anak didik Sukab. Karena hanya berupa
soal-soal yang sering berseliweran di dunia maya bernama internet. Dikumpulkan dan dicetak percetakan. Belum pernah
diuji validitasnya apalagi kematangan mengukur tingkat berpikir. Yang ada hanya
masalah tawar menawar keuntungan antara percetakan dan pemesan. Sayangnya , Pak
Guru Sukab yang matanya berkaca seperti jendela kuno itu tidak pernah mengetahu
mahluk bernama internet apalagi mendapatkan cipratan keuntungan. Semua masuk ke
kantong utang sekolah yang dimiliki atasannya.
Sukab hanya tahu nuraninya tidak menyetujui setiap tindakan
yang dilakukan atas perintah atasannya itu. Diam-diam ia mengganti alamat
tujuan pemesanan.
Hari berikutnya, Sukab tidak hadir. Absen berhari-hari
sedang soal yang dinanti tidak kunjung datang. Semua kerabat juga rekan
kerjanya tidak mengetahui Pak Guru Sukab yang tercinta telah pergi kemana.
Seperti hilang ditelan bumi begiru saja. Memang pada jaman itu permukaan planet di
negeri itu sering merekah dan menelan apapun yang ada diatasnya. Termasuk
menelan orang-orang yang sengaja ingin menghilangkan dirinya sendiri karena
muak dengan hidupnya, seperti halnya Sukab.
Sukab memang telah bosan terus-terusan mengkhianati nuraninya.
Karena hilangnya Pak Sukab, Cik Gu Besar menjadi sering
bermimpi. Bermimpi buruk terus menerus, bahkan saat tidur siang diatas sofa di
ruang kantornya. Dalam mimpinya dia melihat Sukab dengan dahi berkerutnya. Maka, buru-buru ia bertanya.
“Mana soalnya Kab, sampai sekarang tidak juga datang? Kemana
kamu memesan?” Tanya Cik Gu Besar lantang.
“Sebentar lagi sampai bu, sedang dikirim mungkin besok pagi
tiba,” jawab Sukab menahan kaget mendengar suara lantang dari belakangnya.
“Tapi maaf bu..” Sukab lirih berkata-kata dengan wajah
tertunduk.
“Maaf karena soal pesanan telat. Tidak masalah itu itu bukan
salahmu..” Jawab atasan Sukab.
“Bukan Bu, bukan itu… saya minta maaf karena saya kirim ke
tempat lain.”
“Maksudmu?” Tanya atasan Sukab berang.
“Saya kirim ke Malaikat Maut Bu, biar dapat soal yang gampang, enam pertanyaan saja. Ada satu
paket soal buat ibu juga katanya.” Jawab Sukab.
Tiba-tiba semua menjadi gelap.
Demikianlah, sejak peristiwa itu berbondong-bondong sekolah di
negeri itu memesan soal kepada Malaikat Maut untuk soal ujian. Hanya
berisi enam soal saja dan gampang pula dijawabnya menurut Sukab dan murid-muridnya.
Entah kalau atasannya bisa menjawab tidak. Itu bukan urusan saya sebagai tukang
mengarang cerita fiksi.
Catatan penulis:
Heri Setiyono, S.Pd
No. pokok anggota PGRI : 10094000266
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog PGRI tema "Menulis di Blog Jadi Buku"
0 Komentar