Oleh : Heri Setiyono
Ia
menoleh ke belakang, ke arah dari mana ia datang. Bisakah ia kembali menemukan
kawanannya? Cleo terkesiap dan berlari menerjang belukar sekencang-kencangnya.
Tetapi, arah yang dituju semakin dirasanya jauh dari titik awal ia beranjak.
Disibaknya semak-semak, setengah gugup dan melaju ke arah datangnya suara yang
kembali memanggilnya dengan bahasa lengkingan panjang penuh penderitaan. Seolah
ia sendiri mendengar lengking pilu ayah ibu nya yang diinjak-injak saat insiden.
Dengan
terangah-engah Cleo berlari. Burung-burung beterbangan dari semak karena
terkejut. Cleo semakin masuk kedalam jantung hutan yang sudah ia tahu tidak akan
mengijinkannya dengan mudah menemukan jalan pulang. Cleo melompat menghindari pokok
pohon yang menghadang langkahnya. Dari sudut matanya, ia tangkap siluet pohon
itu roboh bukan karena angin atau petir, tetapi sesuatu yang lebih berbahaya. Warewolf.
Di kulit pohonnya yang mengelupas dilihatnya bekas cakaran menggerus dalam hingga
mencapai kambium pohon. Serta retakan dan patahan yang tidak wajar seperti diremuk
dengan kumpulan gigi bertaring. Cleo semakin berlari. Angin bertiup dan sejumlah daun kering ikut
beterbangan. Dari angin yang menghempas itu, dirasakannya ada sesuatu yang
membawa aroma darah. Cleo tahu itu datang dari sesuatu yang bisa membunuhnya.
Cleo
memberanikan diri, menerobos lebat rimba, mengejar suara yang memanggilnya.
Namun, suara itu semakin samar hingga berganti suara debur air yang memecah
keheningan. Sampailah Cleo di air terjun yang dilingkupi rimbun belukar dan
pepohonan. Masih terengah-engah dan bajunya robek sana-sini. Terdengar ketukan
di pintu.
“Cleo!
Cleo! Bangun, sudah siang!” Ibunya tidak menunggu jawaban. Ia membuka pintu. Tidak didapatinya anak
gadisnya di kamar. Daun-daun beterbangan, berserta desau angin dari arah
cermin. Ia melangkah masuk, mendekati cermin besar di kamar itu. Dilihatnya Cleo
dalam lingkup gerumbul semak dengan latar belakang air terjur. Bajunya tercabik
sana sini. Di genggaman tangan Clep sebilah dagger terhunus memancarkan pendar cahaya
putih.
“Cleo….Cleo…”
Ia memanggil anaknya
Cleo tak
mendengar dan tak menjawab. Dihadapannya kini berdiri mahluk setengah serigala setinggi rumahnya. Mulutnya terbuka
memperlihatkan giginya yang setajam silet. Cleo bergeming. Mahluk iitu melompat
kea rah Cleo.
“Tiidaaakkk…”
Teriak ibunya memekakan telinga. Tanpa sadar ia berlari menabrakkan diri ke
cermin, memasuki dunia di baliknya yang gelap tanpa jalan pulang.
0 Komentar