Oleh
: Heri Setiyono, S.Pd
Matahari merangkak tinggi. Hari menjelang
siang namun panas sejadi-jadinya. Langit biru yang membentang indah tetap setia
memayungi bumi. Entah mengapa tanpa seberkas awan putihpun yang membawa titik
uap air untuk hujan. Pohon-pohon yang berderet di sepanjang selasar sekolah
selalu meniupkan kesegaran. Inilah sudut yang menyegarkan tatkala penat
mengajar seharian melanda.
Kota B, tidak semegah kota-kota
lain, meskipun demikian ia penuh hiruk-pikuk yang membuatnya hidup. Kota kecil
berbatasan dengan pusat pemerintahan ini memang selalu mendeyutkan jantung
setiap penduduknya yang selalu bergumul dengan aktivitas yang tiada henti.
Termasuk aktivitas murid-muridku yang mungkin sedari sebelum subuh tadi sudah
memeras otak untuk menjalani hari ini. Ah...Pastinya murid-muridku belajar
sedari dini hari tadi, tapi bisakah mereka mengerjakan soal hari ini?
Memang hari ini hanyalah ujicoba untuk ujian
kelulusan. Akan tetapi tetap saja menimbulkan beban tersendiri yang tentu saja
tergambar jelas di raut-raut wajah lesu dan pasrah. Pensil yang entah
mencorat-coret perhitungan apa dan kening yang berkernyit karena perhitungan tidak menemui jawaban,
menandakan jelas murid-muridku kewalahan.
Matematika mungkin tidaklah mudah
bagi kebanyakan murid-muridku, terlebih di hari yang panas ini. Memeras otak
untuk mendapatkan nilai lima pun mungkin harus dilakukan dengan perjuangan yang
tidak kecil nilainya. Terkadang aku tercenung ketika mendengar dari muridku bahwa soalnya susah, padahal hanya
sedikit ada perbedaan dengan yang biasa diajarkan. Perbedaan yang sekedar
menguji kreatifitas berpikir matematis ini ternyata menjadi hal yang ruwet di
otak mereka. Seolah miselium dalam otak mereka tidak mengenai simbol-simbol yang
seharusnya sudah biasa dan sering dihadapi. Ah... kenapa bisa begitu? Dan
ketika kumasuki ruang ujian sekedar melihat bagaimana murid-muridku seorang
murid menatap nanar kepadaku seolah air
matanya akan membuncah keluar.
“Pak ! Bolehkah saya tidak ikut
ujian matematika?” Kata Anti muridku yang tiba-tiba mengangetkanku.
“Kenapa nak,... kerjakan saja
sebisamu, carilah yang mudah-mudah dulu.” Ujarku menenangkan.
Kembali ia menunduk, diraupnya
mukanya dengan kedua tangan sembari menghirup udara dalam-dalam kedalam rongga
paru-parunya.
“Saya rasanya pusing pak, saya ijin ke belakang dulu.” Pinta Anti.
Kuhanya
mengangguk mengiyakan. Kumengerti memang tidak mudah untuk menjalani kewajiban
mengikuti ujian ini, terlebih untuk seorang Anti yang selalu merasa pusing
entah kenapa ketika melihat angka-angka terlebih pecahan. Ah... memang setiap
anak berbeda-beda. Dan kulangkahkan kaki keluar kelas, dari sudut mataku masih
saja kulihat tidak satupun yang berwajah cerah mendapati soal ujiannya.
***
Rupanya matematika menjadi momok
bagi sebagian besar anak. Inilah yang kutakutkan. Sebagai guru aku menyadari
bagaimanapun semua kompetensi harus dikuasai, termasuk matematika. Tetapi bila
sebagian besar muridku gagal di matematika, Oh... ini mungkin akulah yang
salah. Kesalahan utama mungkin ada dalam diriku.
Kumulai menginstropeksi diri,
merenunggi segala macam metode yang kuberikan, menganalisis segala macam bentuk
latihan yang kubuat mengingat-ingat kealphaan apa yang terlewat. Kemudian
muncullah pertanyaan, salahkah aku bila kusibuk mengajar. Sepertinya pola
mengajarku sangat normatif, artinya mengajar menurut “arahan’. Sepertinya aku
mengajar bukan untuk muridku agar mereka mampu menemukan dirinya. Aku mengajar
untuk prasyarat administratif saja sebagai guru.
Inilah titik awal kutemukan bahwa
mengajarku yang mengikuti semua arahan para Pengawas, petunjuk dari Guru-guru Inti
dan instruksi dari Dinas Pendidikan menjadikanku sebagai tukang mengajar. Semua
mengarah kepada guru yang baik adalah guru yang dapat meningkatkan kemampuan
dan kompetensi siswanya, inilah yang semula selalu kujadikan patokan.
Kemudian aku ingat bahwa
kutekankan bahwa murid-mudiku harus bisa. Duh... teganya aku menekankan hal
yang muskil. Remidial berulangkalipun jika memang tidak selaras dengan bakat
dan minat hanya akan selalu menjadi harapan anak akan mampu menguasai
matematika.
Anti kutahu dia belajar
mati-matian sesuatu yang tidak sesuai dengan bakatnya tidak selaras dengan minatnya, dia belajar untuk
bisa mengerjakan soal matematika. Dan masih banyak lagi selain anti yang juga
sama meski berjuangnya meskipun mereka hanya menjalani dengan pasrah. Teganya
aku sebagai guru menjejali dengan banyak remidial dan latihan. Semestinya waktu
mereka banyak digunakan untuk mengeksplorasi bakat dan minatnya sendiri.
Menggali dan menemukan passion diri sebelum usia yang menentukan jalan
hidupnya.
“Sudah hal yang wajar bila
matematika tidak banyak anak yang mengusainya. Dan anak-anak bersusah payah
belajar itu adalah proses yang wajar, lumrah sajalah kawan.“ Kata Dwi, rekan sejawatku menimpali kegelisahanku
tatkala kucurahkan kegelisahanku padanya.
“Sudah, katrol saja nilai
mereka...” Eka menambahkan.
“Di sekolah kita masih mending
hanya mengkatrol, mentraktir nilai bahkan mentraktror nilai anak. Di sekolah
lain lebih parah, dengan sengaja lembar jawab ujian diganti jawabannya oleh
guru-gurunya supaya anak bernilai bagus semua. Supaya gengsi sekolah tidak
turun.” Ungkap Dwi.
“Iya, sudah katrol saja nilai
mereka, menambahkan nilai sudah wajarlah untuk kerja keras mereka.” Kata Eka
meyakinkanku.
Memang hal muskil seorang anak
yang tidak berbakat melukis diremidial berkali-kalipun akan tetap tidak dapat
melukis apalagi menjadi pelukis terkenal. Begitupula dalam hal matematika, dan
nampaknya kami para guru hanya menganggap biasa, dan kami terus menjejali
murid-murid dengan materi demi harapan kompetensinya meningkat.
Akan tetapi, aku merasa hal itu
benar-benar menjadi bumerang bagi anak. Semestinya mereka tidak kehilangan
kesempatan memperdalam minat dan bakatnya.
Parahnya lagi tidak sedikit dari anak-anak akhirnya dibohongi dengan
nilai dari gurunya.
Tatkala menuliskan nilai, Nuraniku
gamang, ragu dan cemas, terpaksa kutraktor nilai mereka mencapai ketuntasan
padahal sejujurnya aku mengelabuhi diri agar tidak ditegur karena selalu dalam
pandangan atasan maupun pengawas bahwa keberhasilan mengajar adalah
keberhasilan anak mencapai ketuntasan KKM.
***
Semenjak itu kumulai merubah pola
mengajarku yang normatif. Kuajarkan matematika bukan dengan memaksakan mereka
berpikir logis-matematis, tetapi berusaha menghadirkan matematika menjadi
bagian menyenangkan dalam sudut pandang mereka. Kuajarkan matematika dalam
banyak persoalan dan masalah untuk dipecahkan dengan percobaan dan penelitian.
Kuhadirkan dalam cerita-cerita tokoh matematika untuk mengembangkan bakat
anak-anak dengan kecerdasan linguistiknya, hingga pada akhirnya bagaimana
proses suatu teorema dapat menjadi sebuah rumus yang dipakai hingga sekarang
dalam dunia matematika.
Harapanku bahwa semua muridku
ketika lulus bukan menjadi generasi yang tidak tahu harus kemana jalan
hidupnya. Kuinginkan mereka menjadi ahli-ahli yang mampu mewarnai kehidupan.
Kuinginkan mereka kreatif, kritis dan solutif sehingga mampu meraih
cita-citanya tidak menjadi generasi yang tanpa bekal dalam menghadapi dunia
yang penuh persaingan sehingga harus menelan pahitnya kehidupan.
Tidak akan ada lagi semua anak
yang harus bisa. Bahkan semua anak yang juara kelas semboyan itu sudah lama
kutinggalkan. Kucoba mendidik dengan dharma baktiku sebagai guru untuk
menjadikan mereka berbeda, spesial, khas dan ahli dibidangnya masing-masing.
Kehidupan ini membutuhkan generasi yang mumpuni, tetapi tidak ada anak yang
menonjol disegala bidang, mereka pasti hanya memiliki spesialisasi di salah
satu bidang saja. Gardner sang ahli ilmu psikologis pernah berkata “ Tidak ada
anak yang bodoh dan pintar, yang ada adalah anak yang menonjol dalam salah satu
atau beberapa kecerdasan.”
“Ahh...Jangan lagi ada muridku yang melewati harinya dengan kebosanan dan kecemasan di sekolah karena matematika.” Batinku.
***
Heri Setiyono, S.Pd, NPA PGRI 10094000266
0 Komentar