Sebuah Cerpen
Kala Hidupmu Tersungkur
Oleh
: Heri Setiyono
Pria
itu bernama Raja. Seperti namanya perilaku pria itu elok penuh laku terpuji bak
raja bijak. Tetapi, rautnya kini sedang muram. Segala sesuatu yang ia curahkan pada
hidupnya terasa lebur. Ambyar. Seperti petarung yang terus kalah dalam
pertandingan. Meski melakukan apapun yang terbaik tetapi ia selalu mendapat hal
yang tidak sesuai dengan jerih payahnya.
Raja
seorang yang baik. Perkerjaanya mendidik di suatu sekolah luar biasa. Mengajari
anak tunagrahita yang sering kalian sebut gila. Mereka dididik untuk bisa makan
sendiri, memakai baju sendiri dan banyak hal yang membutuhkan kesabaran
melebihi luasnya samudera. Tidak semua orang bisa mengerjakan pekerjaan itu,
meski guru jempolan sekalipun lulusan dari universitas ternama. Sebab tanpa
keterpanggilan hati tidaklah mudah menjadikan anak-anak sedemikian bisa
mandiri. Bayangkan saja untuk mengajarkan memegang pensil saja butuh latihan
selama seminggu.
Akan
tetapi, bukan masalah pekerjaan yang menggangu pikiran Raja. Kekalutan itu
muncul dari orang tuanya. Orang tua Raja telah menampik permintaanya untuk
meminang Fatimah. Bahkan permintaan yang telah diutarakan kesekian kali itu
kini berujung konflik keluarga. Raja mendapat penolakan yang tidak hanya keras
tetapi juga mengancam hidupnya.
“Kau
tak boleh kawin dengan gadis kampung itu. Apa yang kau pikirkan. Tak tahu
adat!” Teriak Ibunya.
“Kau
itu anakku satu-satunya. Penerus garis hidupku. Teganya kau lakukan itu pada
bapakmu ini. Mau jadi apa kau. Kita menjunjung adat, menjadikan keyakinan
sesuatu yang tak tergoyahkan. Tapi kau malah berpaling. Kau pindah agama cuma
karena cinta. Kau diguna-guna? Iya! Hah?” pekik ayahnya yang tak kalah kalap.
Hampir saja asbak di meja menghantam kepala
Raja. Asbak itu masih tertahan dalam genggaman ayahnya yang masih geram, siap
menghantam.
“Aku
jadikan kau sarjana untuk kau bisa meneruskan bisnis keluarga. Ternyata malah
kau memilih mengabdikan diri sebagai guru rendahan. Kuberikan kau hidup enak
dari timangan sampai dewasa malah kau balas tuba. Apa yang kau pikirkan sampai
memeluk islam dan meninggalkan agama kita, kepercayaan kita, warisan leluhur
kita”
“Lebih-lebih
apa kau sadar hah. Kau minta kawin dengan gadis biasa hanya dengan alasan
agamanya. Apa kau bodoh. Aku bisa nikahkan kau dengan gadis yang lebih cantik,
lebih terpandang keluarganya. Tetapi kalau kau masih bersikeras, pergi, kau
bukan anakku lagi. Mengerti Kau.”
Asbak
itu teracung-acung di depan mukannya. Salah menjawab, dahi Raja bisa bocor
dibuatnya retak mengucurkan darah.
Kini
mengertilah sang ayah. Bahwa anaknya memang keras kepala berani dan berwatak
teguh seperti naga. Dalam hati ia menyesal telah memberi nama Raja karena
mengharapkan kelak akan seperti naga raja, karena seorang raja adalah
pemimpin yang memiliki watak naga. Ia
mengharapkan anaknya menjadi naga dalam bisnis keluarga yang masyur. Ayah Raja
adalah bos dalam bisnis emas dan perhiasan toko emasnya besar-besar dan
terdapat banyak cabang hingga ke luar kota. Ia ingin anaknya bisa meneruskan
kedigdayaannya. Bukan malah menjadi murtad dari keyakinan turun-temurunnya.
Raja
tak mampu berkutik menghadapi kedua orang tuanya. Ia bukanlah seseorang yang
mampu mendebat orang tuanya yang keras. Dia hanya diam. Dalam diamnya dia
semakin yakin memeluk islam, bukan karena perasaan cinta pada Fatimah, tetapi
karena semakin ditentang hatinya semakin mantap menjadikan islam jalan
hidupnya.
Perlahan
wajah pucat raja semakin putih. Ia tahu keluar dari keluarga ini sama saja
membuang segala kemewahan dan masa depan. Akan tetapi, dia tidak ingin
kehilangan sesuatu yang benar-benar menjadi ketenangan jiwanya, yaitu iman
islam.
…
Raja
pergi meninggalkan orang tuanya. Tanpa bisa mencium tangan bahkan menyalami
ayah ibunya. Mereka bukan hanya murka tetapi juga kecewa. Jika bukan karena
anak semata wayang mungkin sudah mendapatkan amukan orang tuanya.
Namun,
ada sedikit kelegaan dalam diri Raja. Kini ia tidak harus sembunyi-sembunyi
melakukan shalat. Tidak perlu ragu dan takut lagi membaca Al Qur’an.
Raja
merasa kebingungan akan menuju kemana. Ia tidak punya bekal yang cukup untuk
hidup. Ia hanya memiliki beberapa potong baju. Segala fasilitas hidupnya
tersita. Ia menggelandang. Beruntung ia pernah menjadi backpacker. Sehingga tidak sesulit benar ia rasakan tanpa apapun
dari orang tuanya.
Langkah
kakinya menjadi ringan jika memikirkan ia masih memiliki keyakinan, keimanan
yang ia rindukan selama ini. Keyakinan yang sebenar-benarnya benar baginya.
Raja mungkin kehilangan hal terbesar dalam hidupnya tetapi ia tak mampu
kehilangan islam.
Raja
kini hanya seorang muallaf tanpa seseorang pun yang membimbingnya meniti islam.
Ia seseorang yang sendiri di dunia ini. Kekagumannya pada pujaan hatinya pun layaknya
hanya sebatas angan untuk mencapainya. Raja hanya mengagumi Fatimah karena
kesolehahannya. Ia tidak begitu mengenal Fatimah. Begitu juga Fatimah, ia tidak
mengenal Raja. Bertegur sapapun tak pernah. Raja hanya sekali melihat Fatimah, melihatnya keluar dari masjid
kampus dan entah mengapa Raja menjadi jatuh cinta padanya. Padahal, saat itu ia
hanya sekedar akan makan siang di kantin dekat masjid. Sungguh cinta itu aneh.
Datang dan menetap sesukanya.
Raja
menemukan Islam dari keingintahuannya mengenai sosok paling berpengaruh di
dunia berdasarkan buku daftar karya Michael Heart. Ia penasaran dengan Baginda
Nabi Muhammad Saw. Rasa penasaran itulah yang menuntunnya hingga mengucap syahadat.
Tetapi secara formal ia belum mengucap syahadat di depan ustadz, kyai maupun
alim. Ia hanya meyakininya, mengucap sahadat tanpa persaksian. Ia berencana mengucap
sahadat di masjid, dengan persaksian dari alim ulama. Tetapi keinginan itu
belum terwujud selama ini ia masih
terkurung dalam komunitas jemaat keyakinannya dulu.
Raja
kini melangkahkan kakinya tanpa tujuan. Entah kemana kakinya akan membawanya,
ia tak tahu. Ia hanya melangkah dan melangkah. Mungkin beberapa kilo telah
dilalui. Ia hanya ingin menjauh dan menjauh. Ia ingin meninggalkan segala yang
menjadikannya hampa selama ini.
Hingga
sampailah raja pada sebuah pasar yang bersisian dengan masjid dan kuburan. Ia
melangkah melewati toko-toko. Ia perhatikan segala kanan-kirinya adalah toko
dengan menjual perhiaasan. Ia kembali menelan ludah. Tenggorokannya kering,
perutnya lapar dan perasaannya kelu. Pemandangan yang ada sekarang membuatnya menjadi ingat ayahnya. Kanan kiri, sepanjang
jalan ini adalah toko perhiasan dari bahan perak. Segala macam jenis dan bentuk
segelanya perhiasan perak. Raja buru-buru melanjutkan langkah. Dilewatinya
pasar ketika melewati pekuburan ia merasakan bahwa kehidupannya adalah sebuah keniscayaan
yang fana. Dibelenggu waktu dalam jasad fisik yang akan membusuk bersama tanah
nantinya.
Hingga
sampailah ia di sebuah masjid. Ia memasuki masjid. Menuju ruang wudhu.
Dibasuhnya wajah dan ditangkupkan telapak tangannya. Tangan pucat itu menampung
air, diminumnya air itu. Dahaga dan lapar yang menggerus perutnya perlahan
terobati.
Tanpa
ia tahu ada seseorang memperhatikannya. Orang itu mengambil air dan
menampungnya dalam jerigen-jerigen besar. Raja mengistirahatkan diri di serambi
masjid. Air yang dia minum memang sedikit mengganjal perut, ia bisa sedikit
berenergi lagi. Beberapa saat ia duduk terpekur ada seseorang menyodorkan
bungkusan kedepan wajahnya.
“Ini,
ada makanan, makanlah nak.” Kata orang itu.
“Terimakasih
banyak Pak.” Raja menerima pemberian itu dimakannya dengan lahap bungkusan itu
yang berupa nasi dengan sayur sederhana tanpa lauk dan sambal.
Sejenak
orang itu tersenyum dan berlalu. Dia kembali kepada jerigen-jerigennya.
Ditampungnya jerigen-jerigen itu kedalam gerobak dan mendorongnya pergi
meninggalkan masjid. Raja mengamati hal itu. Entah mengapa ia merasa takjub. Raja
takjub dengan senyum yang tulus dan seolah tanpa ada perasaan beban.
Raja
tidak memiliki rencana apapun sekarang. Kembali kepada pekerjaanya adalah keputusannya
tetapi ia ingin menjadi islam yang seutuhnya. Ia ingin mengislamkan diri dengan
utuh, mengucap syahadat dan belajar shalat, serta membaca dan mengaji Al
Qur’an.
Di
teras masjid itu ia kembali mengingat apa yang ia kaji dari Nabi yang ia
kagumi, Baginda Nabi Muhammad Saw yang dia temui dalam setiap literatur islam
di kampusnya. Ia ingin meneladaninya. Menjadi salah satu prajurit perangnya
melawan kaum yang menindas islam. Menjadi kaum anshar yang menyenandungkan
shawalat atas kedatanganya. Menjadi Al Fatih yang mewujudkan nubuatnya atas
kemenangan islam di bumi Bizantium. Ia mengingat bagaimana akan kesabaran sang
Rasul, kedermawanan dan kegigihan menegakkan islam. Raja mengingat semua itu
dari buku literatur dan berbagai kisah yang ia baca. Ia patrikan kedalam
ingatannya.
Raja masih di masjid itu. Ia menunggu apa yang
akan terjadi dalam hidupnya. Ia menginginkan jalan untuk dirinya menata hidup
islami. Hingga mampu memantaskan diri menjadi orang yang kafah islamnya dan
mampu mendekat beberapa langkah kepada Fatimah yang tak terjamah angannya sekalipun.
Raja
memanjaatkan doa, untuk ayahnya dan ibunya, dan untuk segala yang pernah
menjadi warna dalam hidupnya. Sejurus kemudian anak-anak kecil yang akan
belajar mengaji berdatangan ke masjid bersama beberapa ustadz dan ustadzah.
Mereka gembira, tersenyum, bersenda dan tertawa. Raja menegakkan posisi
duduknya, ia tertegun, dilihatnya Fatimah bersama anak-anak itu dan Bapak tua
yang memberinya nasi bungkus menuju ke arahnya.
…
Cerpen ini diikutkan dalam event menulis Merindukan Baginda Nabi Muhammad SAW
NARASI
PENULIS
Heri Setiyono
Heri Setiyono, S.Pd akrab disapa pak
guru Heri. Memiliki kanal youtube pendidikan Guru Heri dan instagram
@setiyonoherry, serta blog: kiaedukasi.blogspot.com. Heri lahir di Magelang,
tiga puluh satu tahun silam. Saat tulisan ini disusun masa pandemic covid 19
telah genap hampir setahun mendera. Heri memiliki kecintaan kepada dunia
menulis dan berusaha mendobrak dinding bernama ketidakadilan dalam pendidikan.
Sertifikat Penghargaan:
0 Komentar