Fiksimini 6 (Sekolah)

 

Oleh : Heri Setiyono, S.Pd

 

“Besok putranya mau disekolahkan dimana Bu,” Tanya Bu Aini kepadaku.

“Di sekolah insan syurga Bu. Bapaknya ingin supaya pandai belajar agama.” Jawabku ringan.

“Wah, bagus itu. Kalau aku mau menyekolahkan si bungsu ke sekolah favorit.  Sedikit mahal, sih. Tapi lebih baik begitu. Biar jadi orang besar besoknya. Fasilitasnya jelas jauh beda dengan sekolah lain, bayar sumbangan pembangunan saja minimal lima juta.” Jelas Bu Aini.

Lima juta. Bagiku tidak terbayangkan uang sebanyak itu. Tabunganku selama setahun penuh pun hanya terkumpul separuhnya.  Lama-lama aku jengah dengan obrolan, karena menuju menyombongkan ekonomi. Akupun mengemasi daganganku. Pamit dengan perasaan kecut.

Pekerjaanku menjajakan tempe benguk, geblek dan besengek. Dari rumah ke rumah aku jajakan daganganku. Dimulai dari kompleks perumahan subsidi yang kutempati menuju komplek perumahan elit di sekitarnya. Deretan rumah seperti gerbong kereta yang dengan tetangga hanya sebatas dinding bata  itu saban hari kusinggahi.

Bu Aini adalah langgananku. Meski sedikit “gumede”, ia tipe pembeli yang setia. Sehingga mau bagaimanapun ia menyombongkan diri secara halus, aku akan selalu datang dan menanggapi tuturnya yang makin membusa.

Anakku masuk sekolah. Kusekolahkan di sekolah yang lebih dalam mengajarkan mandiri dan agama.  Di rumah aku masih bisa mengajarinya mengaji. Satu-satunya bekal pelajaran yang kubisa beri. Jika aku berekonomi lebih mungkin bisa kuberikan buku-buku mahal agar anakku pandai bermacam ilmu. Namun, aku hanya bisa memberikan sebuah buku Iqro dan kitab suci. Untungnya anakku sabar belajar, sehingga di usianya yang akan genap enam tahun sudah akan lancar membaca kitab suci.

Guru-gurunya pun sabar dan telaten setiap pagi hari menelepon. Memberikan pelajaran dan lebih-lebih memberikan pengetahuan agama, doa-doa yang aku tak tahu dan motivasi kemandirian. Meski hanya bertemu di layar video call, aku merasa hal itu lebih dari cukup sepadan dengan uang pendidikan yang kukeluarkan.

Sudah beberapa bulan ini aku tidak jualan. Pandemi masih berjalan. Sekolah masih dilarang tatap muka. Setiap gang perumahan diportal. Aku tidak bisa masuk sembarangan. Daripada dagangan tidak terjual aku putuskan sementara berhenti. Untunglah suami masih bisa memberi makan, meski gajinya hanya dibayarkan separuh. Dan entah kapan sisanya dilunasi. Kami pasrah. Terbiasa dengan hidup seadanya bisa membuatku bersyukur masih diberi kesempatan mendidik anakku.

Beberapa bulan ini aku hanya di rumah. Cukup jengah juga. Namun tetap kusyukuri karena dengan adanya aku dua puluh empat jam di rumah, anakku menjadi hafal bacaan dan doa untuk sembahyang lima waktu. Namun, sore ini aku memulai berjualan lagi, Bu Aini langgananku memesan banyak geblek dan gula semut untuk oleh-oleh.

Sebenarnya aku enggan bertanya tapi entah mengapa pertanyaanku meluncur juga.

“Anakknya jadi bersekolah di sekolah favorit, Bu?”

“Oh, engga,  pandemi begini belajarnya cuma di rumah mantengin HP. Jadi aku pikir sayang saja buang uang banyak-banyak kalau aku juga yang ngajarinnya. Jadi ya cuma sekolah di sekolah deket-deket saja yang gratis.” Kata Bu Aini.

Gratis. Agak kaget sebenarnya mendengar orang sekaya Bu Aini menyekolahkan anaknya ke sekolah gratis yang jauh berbeda dengan omong besarnya dahulu. Tetapi, kusembunnyikan kekagetanku. Aku menganggap maklum, mungkin kondisi keuangannya pun terdampak karena pandemi.  

0 Komentar