Oleh : Heri Setiyono, S.Pd
“Besok putranya mau disekolahkan
dimana Bu,” Tanya Bu Aini kepadaku.
“Di sekolah insan syurga Bu. Bapaknya
ingin supaya pandai belajar agama.” Jawabku ringan.
“Wah, bagus itu. Kalau aku mau
menyekolahkan si bungsu ke sekolah favorit. Sedikit mahal, sih. Tapi lebih baik begitu. Biar
jadi orang besar besoknya. Fasilitasnya jelas jauh beda dengan sekolah lain,
bayar sumbangan pembangunan saja minimal lima juta.” Jelas Bu Aini.
Lima juta. Bagiku tidak
terbayangkan uang sebanyak itu. Tabunganku selama setahun penuh pun hanya
terkumpul separuhnya. Lama-lama aku
jengah dengan obrolan, karena menuju menyombongkan ekonomi. Akupun mengemasi
daganganku. Pamit dengan perasaan kecut.
Pekerjaanku menjajakan tempe
benguk, geblek dan besengek. Dari rumah ke rumah aku jajakan daganganku. Dimulai
dari kompleks perumahan subsidi yang kutempati menuju komplek perumahan elit di
sekitarnya. Deretan rumah seperti gerbong kereta yang dengan tetangga hanya
sebatas dinding bata itu saban hari kusinggahi.
Bu Aini adalah langgananku. Meski
sedikit “gumede”, ia tipe pembeli
yang setia. Sehingga mau bagaimanapun ia menyombongkan diri secara halus, aku
akan selalu datang dan menanggapi tuturnya yang makin membusa.
Anakku masuk sekolah.
Kusekolahkan di sekolah yang lebih dalam mengajarkan mandiri dan agama. Di rumah aku masih bisa mengajarinya mengaji.
Satu-satunya bekal pelajaran yang kubisa beri. Jika aku berekonomi lebih
mungkin bisa kuberikan buku-buku mahal agar anakku pandai bermacam ilmu. Namun,
aku hanya bisa memberikan sebuah buku Iqro dan kitab suci. Untungnya anakku
sabar belajar, sehingga di usianya yang akan genap enam tahun sudah akan lancar
membaca kitab suci.
Guru-gurunya pun sabar dan
telaten setiap pagi hari menelepon. Memberikan pelajaran dan lebih-lebih
memberikan pengetahuan agama, doa-doa yang aku tak tahu dan motivasi
kemandirian. Meski hanya bertemu di layar video call, aku merasa hal itu lebih
dari cukup sepadan dengan uang pendidikan yang kukeluarkan.
Sudah beberapa bulan ini aku
tidak jualan. Pandemi masih berjalan. Sekolah masih dilarang tatap muka. Setiap
gang perumahan diportal. Aku tidak bisa masuk sembarangan. Daripada dagangan
tidak terjual aku putuskan sementara berhenti. Untunglah suami masih bisa
memberi makan, meski gajinya hanya dibayarkan separuh. Dan entah kapan sisanya
dilunasi. Kami pasrah. Terbiasa dengan hidup seadanya bisa membuatku bersyukur
masih diberi kesempatan mendidik anakku.
Beberapa bulan ini aku hanya di
rumah. Cukup jengah juga. Namun tetap kusyukuri karena dengan adanya aku dua
puluh empat jam di rumah, anakku menjadi hafal bacaan dan doa untuk sembahyang
lima waktu. Namun, sore ini aku memulai berjualan lagi, Bu Aini langgananku
memesan banyak geblek dan gula semut untuk oleh-oleh.
Sebenarnya aku enggan bertanya
tapi entah mengapa pertanyaanku meluncur juga.
“Anakknya jadi bersekolah di
sekolah favorit, Bu?”
“Oh, engga, pandemi begini belajarnya cuma di rumah
mantengin HP. Jadi aku pikir sayang saja buang uang banyak-banyak kalau aku
juga yang ngajarinnya. Jadi ya cuma sekolah di sekolah deket-deket saja yang
gratis.” Kata Bu Aini.
Gratis. Agak kaget sebenarnya
mendengar orang sekaya Bu Aini menyekolahkan anaknya ke sekolah gratis yang
jauh berbeda dengan omong besarnya dahulu. Tetapi, kusembunnyikan kekagetanku.
Aku menganggap maklum, mungkin kondisi keuangannya pun terdampak karena pandemi.
0 Komentar