Memaknai Silaturahmi dalam Menulis


 

Memaknai  Silaturahmi dalam Menulis

Oleh: Heri Setiyono

 

Tan Malaka pernah berkata dalam bukunya “Bergeraklah karena diam itu mati,” menulis adalah wujud eksistensi untuk bergerak. Pada akhirnya pergerakan suara itu akan menyapa para pembacanya. Hampir Senada, Ibu Kanjeng memaknai menulis sebagai bentuk Silaturahmi. Menulis Sebagai bentuk Silaturahmi, mungkinkah? Apa maknanya? Simak ulasan berikut.

Ibu Kanjeng, begitulah nama beliau yang tersemat dari ekses menulis. Ya, beliau membuat suatu karakter cerita penutur bernama Pak Kanjeng yang borjuis dan vokal menyuarakan kegelisahan masyarakat. Pada akhirnya, hal itu membuat nama karakter tersebut menjadi panggilan  kepada beliau. Nama asli Bu Kanjeng sebenarnya adalah Dra. Sri Sugiastuti, M.Pd.



Dalam menulis Bu Kanjeng menjadikan silaturahmi adalah semangat (ghirah) menulis. Mungkin kita merasa absurd dengan kata silaturahmi yang bersanding dengan menulis. Tetapi, absurditas itu ternyata adalah suatu ruh menulis. Selayaknya majalah LIFE dengan Quintesance of Life- nya (simak film The Secret Life of Walter Mitty  untuk lebih jauh mengetahui menariknya intisari jiwa majalah ini).



Dengan semangat silaturahmi ini menulis yang dilakoni Bu Kanjeng tidak sekedar menulis untuk hobby. Menulis menjadi obat sekaligus memperpanjang usia sebagaimana manfaat menjalin silaturahmi. Semangat ini menjadikan menulis bukan sekedar tegur sapa penulis dengan dengan pembacanya, atau penulis dengan literaturnya. Lebih jauh dari itu menulis menghidupkan ikatan batin untuk saling menguatkan, memotivasi pembaca dan menebarkan ilmu sekaligus menguatkan ketaqwaan. Sungguh hal ini terpancar dari setiap tulisan Bu Kanjeng. Lihat saja bagaimana demikian tulisan beliau hidup dalam bukunya dan blognya.(red: http://www.srisugiastutipln.com)

Kekuatan silaturahmi menjadikan semangat menulis adalah menebarkan manfaat. Kekuatan ini mengejawantah sebagai bentuk silih asah dan silih asuh keilmuan. Ingatlah kalangan alim cendekia jaman dahulu sering saling mengkritik pun dengan menulis kitab atau buku. Sungguh elok negeri ini jika mampu menghasilkan para pemuka, pemimpin dan kalangan cendekiwan yang saling membangun dengan silaturahmi menulis buku. Madu sekali.

Dari Bu Kanjeng, semangat menulis juga harus dibarengi dengan kemampuan  mengenali potensi diri. Menulis dengan mengedepankan potensi diri berarti menjadikan diri dan apa yang dimiliki sebagai kekuatan menulis. Inilah solusi paling cemerlang bagi setiap penulis untuk terhindar dari plagiasi. Jikalau penulis menulis dengan potensi yang dimilikinya maka tulisan adalah kekhasan yang terlahir dari buah pikirnya. Inilah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi pembacanya.

Memanfaatkan berbagai resources dalam menulis merupakan silaturahmi penulis kepada literature, kepada pengalaman narasumber dan kepada nuraninya. Tengoklah buku Seno Gumira Ajidharma (SGA) dalam Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Seno yang menjadi wartawan kala itu tidak mampu mengabarkan fakta dalam bentuk berita namun nuraninya untuk menyuarakan membuatnya menuliskan berbagai cerpen pelanggaran HAM yang terkumpul dalam buku Saksi Mata.

Buku yang berbicara. Itulah yang saya pikirkan ketika Bu Kanjeng memaparkan sejarah terlahirnya buku-buku beliau satu persatu. Buku yang benda mati itu seolah mampu berbicara, seolah dia bernyawa. Hebatnya nuansa yang terbentuk dari paparan beliau mengenai buku-buku itu bukan sebatas buku yang hanya berupa isi materi tetapi berlandaskan keinginan penulisnya untuk memberikan solusi. Istilah keren sekarang dalam dunia blogosphere adalah bukan click bait.

Manfaat menulis dengan ghirah silaturahmi adalah memperpanjang usia dan  menuju ketaqwaan, inilah yang dapat saya katakan jika melihat setiap tulisan Bu Kanjeng. Sematan hadist dan untaian kalimat yang berima-rima nampaknya sukses mengantarkan saya lebih bersyukur memilih jalan menulis. Mengapa demikian, jelas ini adalah keutamaan menghidupkan menulis sebagai bentuk literasi sebagaimana perintah agama saya untuk selalu Iqra  dengan menyebut nama-Nya.

Jumat, 8 Januari 2021

*Heri Setiyono, Pendidik yang tergabung dalam Belajar Menulis PGRI Gelombang 17.

 

4 Komentar

  1. Cakeeep resumenya dan paragraf pembuka yang kreeen. semangat

    BalasHapus
  2. terus semangat sebarkan virus literasi...

    BalasHapus
  3. Mantep, lanjutkan silaturahmi dalam menulisy

    BalasHapus
  4. Terimakasih bagi yang sudah berkunjung. Silahkan meninggal komentar agar saya juga bisa mengunjungi blog bapak ibu.

    BalasHapus