My
Secret Life
Rahasiaku untuk hidup yang biasa
saja dan mengalir tanpa adanya omongan miring, gunjingan dan gosip adalah
seperlunya saja aku bercerita untuk orang lain tahu tetang hidupku. Menjalani
kehidupan sebagai isteri sekaligus wanita karier dan seorang ibu mungkin adalah
hal yang sekarang menjadi rahasiaku. Bagaimana tidak jika kebanyakan orang tahu
tentangku maka tidak khayal banyak yang seolah lebih bijak dan menceramahiku.
Aku seorang guru yang tidak biasa
seperti guru-guru pada umumnya. Ya, aku seorang guru yang mengajar di sekolah
luar biasa atau lebih dikenal sebagai SLB. Masih banyak orang yang anatipati
dengan pekerjaan sebagai guru SLB, bahkan tidak sedikit yang masih menaruh
pandangan negatif kepada siswa-siswa SLB, sehingga gurunya pun kadang jadi
incaran saasaran pandangan negatif tersebut. Tapi inilah panggilan jiwaku,
menjadi guru bagi siswa-siswaku yang berketerbelakangan mental atau biasa
kalian sebut idiot. Padahal akan lebih baik jika kalian bilang berkebutuhan
khusus, tunagrahita atau diffable.
Sebagai guru jam kerjaku tidaklah
sesantai pekerjaan lainnya. Cuma mereka yang tidak mengenal guru jika pekerjaan
ini dianggap enteng dan santai. Pekerjaan ini membuatku tidak hanya mesti jam
tujuh pagi sudah di sekolah tetapi juga jam empat sore baru bisa pulang dengan
setumpuk pekerjaan administrasi guru dari sekolah yang perlu dibawa pulang
untuk dicicil dikerjakan. Di rumah gadis kecilku kutitipkan untuk diasuh oleh
ibuku tersayang. Suamiku jauh di luar kota bekerjanya dan hanya sebulan sekali
dapat pulang. Terkadang bisa dua bulan hingga tiga bulan baru dapat kami
berjumpa. Itupun suamiku harus hati-hati memilih waktu karena pekerjaanya juga
sebagai pegawai pemerintah yang setiap waktu pekerjaan dapat memanggilnya.
Di tempat kerjaku tidak banyak yang
dapat kuceritakan. Selain sekolah yang sangat amat besar bahkan dengan jumlah
guru satu jurusan saja dapat mencapai
seratus tiga puluh guru, beragam manusia dengan berbagai karakter membuatnya
berwana dan sungguh aku tidak ingin banyak berbicara tentang diriku. Hal itu
dikarenakan kebanyakan orang pasti akan melancarkan berbagai pertanyaan,
seperti;
“Kenapa tidak pindah saja ikut
suami? Kenapa tidak di tumah saja mengurus anak? Apa kurang gaji suamimu?
Mengapa anakmu kau titipkan Ibumu, tidak kasian dengan kandisinya yang tua dan
mudah capek? Apa bisa kerja sambil mendidik anak?”
Kebanyakan pasti tidak akan
menerima alasanku dalam menjawab pertanyaan- pertanyaan itu. Kemudian dengan
tanpa dipinta dan mungkin merasa perlu padahal aku tidak perlu dan tidak mau,
mereka berbuih-buih menuturkan nasehat. Untuk di rumah sajalah, ikut suami
sajalah dan masih banyak lagi yang membuatku jengah. Sampai-sampai kejengahanku
itu membuatku kebal dan senyum saja menghadapi mereka. Pernah suatu hari
pertanyaan-pertanyaan itu datang dari mulut mertuaku sendiri. Meskipun itu
tidak secara langsung aku mendengarnya, tetapi terkadang memang orang lain
lebih susah menerima keadaan daripada pasangan itu sendiri yang menjalani
kehidupannya. Aku dan suamiku selalu terus menguatkan hati untuk keidupan kami,
untuk karier kami, yang lebih kami suka menyebutnya sebagai panggilan hati.
Pada pertengahan tahun lalu, tepat
pada saat beberapa kawan kerjaku masih sering meledekku yang jauh dari suami
dan selayaknya singgle parent bagi gadis kecilku, datang sepucuk surat
yang membuatku penuh kebingungan. Pada saat itu pekerjaan memang membebani
pikiran, tidak hanya pekerjaan di sekolah tetapi juga di rumah, banyak jemuran
yang kubiarkan saja tidak kulipat kukembalikan ke lemari menumpuk menggunung
diatas kasur. Putri kecilku senang-senang saja ada tumpukan seperti gunung di
kasur tempat tidurnya denganku. Sering ia naik gunungan baju dan
mengobrak-abrik baju-baju untuk mencari bonekanya yang terkubur. Kalau sudah seperti
ini kamar tidak lagi seperti kapal pecah tetapi lebih seperti Gunung Merapi
sehabis meletus, pasirnya berserakan hingga sungai-sungainya menderas
mengalirkan lahar dingin yang marah hingga menerjang jembatan hingga ambrol dan
menyapu jalanan desa-desa yang dilewatinya dengan angkuh.
Beruntunglah aku tidak pernah
menyemburkan lahar dingin menjadi emosi yang meluap menerjang. Hanya kadang
sering nyerocos saja mengomentari ini itu yang tidak semestinya yang terjadi di
rumah. Sering adik perempuanku yang masih kuliah menjadi sasaran omelan karena
malas-malasan seharian. Dua adikku memang tinggal serumah denganku bersama
ibuku yang membantuku mengurus putriku. Tetapi, pernah juga aku marah-marah ke
anakku, dan setelahnya aku menyesal. Suamiku mungkin juga sibuk dan tidak
jarang kami malah jadi saling marah gara-gara aku ini capai juga suamiku jadi
kurang waktu untukku karena pekerjaan.
Salah satu yang menambah
kejengahanku yaitu karena ada sahabat yang tidak mengerti malah menyindirku
tidak cuma sehari dua hari, diuploadnya status di whattapps mengejek bahkan
kepada faktor tidak bisa mengurus anak. Dalam hatiku sungguh sedih sampai
dibawanya hujatan kepada anakku. Tetapi suamiku dan aku saling menguatkan dan
kami bersama mendidik putri kami menjadi lebih baik, bahkan semoga lebih baik
daripada anak-anak lain yang selalu ditunggui ibunya tetapi sang ibu tidak
mencontohkan nilai kehidupan yang baik, perkataan yang santun dan jujur serta
berperilaku secara agama yang santun dan lurus. Puji syukurku atas dikaruniai
putri yang insyaaloh di usiaanya yang baru menginjak dua tahun setengah
dapat menghafal beberapa surat kitab
suci kami Al Qur’an dan masih berlanjut hingga smeoga menjadi hafidzah
nantinya.
Kembali kepada sepucuk surat yang
kuceritakan di awal, yang menjadi sumber kegundahan hatiku. Surat itu datang
dari dinas pusat yang menerangkan dan menugaskanku untuk mengikuti pendidikan
dan latihan (diklat) di Ibu Kota selama satu minggu penuh. Saat itu anakku
memang baru mau menginjak usia dua tahun dan aku beserta suami sepakat untuk
pelan-pelan menyapihnya. Mungkin ini juga pertanda untuk menyapih anakku.
Sungguh sesuatu yang sangat berat dalam menyapih puriku. Sering ia meminta
mimik ASI di malam hari dalam lelapnya yang terusik denging nyamuk dan hawa
panas Kota Pelajar. Hatiku tidak tega untuk tidak memberikan ASI-ku padanya.
Tetapi bagaimana jika malah membuat putriku enggan berhenti menyusu. Bukankan
banyak dokter pakar bahkan dalam agamaku untuk menyapih anak di usia dua tahun
karena ada masalah kualitas ASI yang dapat menjadi racun. Perjuanganku menjadi
Ibu ASI selama dua tahun ini membuatku sangat dekat dengan anakku. Bahkan
ketika demampun anakku dapat turun panasnya karena ASI. Meskipun saat itu aku
terpaksa mencuri waktu untuk pulang dahulu dari sekolah dan menyusui, merawat
dan menidurkannya, sebelum akhirnya kembali lagi ke sekolah kembali.
Pagi-pagi saat akan berangkat
bekerja pun tidak jarang anakku meminta mimik ASI dan tentu saja kusediakan
diriku untuknya. Meski setengah jam kemudian aku memacu motorku menerjang
jalanan untuk tidak terlambat ke sekolah. Bukan satu dua kali aku selalu
terakhir dalam absen finger print demi menyusui putriku dahulu. Dan tidak
sedikit juga atasan kerja yang menegur untuk lebih pagilah, lebih disiplinlah.
Padahal aku yakin dibandingkan yang lain akulah yang paling disiplin saban hari
pagi-pagi sekali bangun untuk mencuci segala macam baju kotor disertai bau
pesing pipis, ompol. Kemudian menyiapkan baju dan segala macam untuk ke sekolah
sebelum menyiapkan sarapan untukku dan putriku. Bahkan perjuangan setiap hari
mencapai waktu ke sekolah paling disiplin dan target pekerjaan tercapai.
Itu hanyalah segelintir pengorbanan
dan perjuangan sebagai ibu ASI ekslusif. Ikatan batin aku dengan anakku yang
meminta disusui sekarang diuji dengan mendadak untuk segera menyapihnya tidak
menyusu padaku lagi. Secara formal aku tidak dapat menolak sepucuk surat tugas
diklat itu. Namun, suami juga saat itu ditugaskan dinas ke Pulau Dewata selama
seminggu juga, ia tidak dapat pulang sekedar menemani anakku dan menggantikan
posisiku sementara. Akhirnya, anakku kutitipkan ibuku dan sungguh trenyuh saat
kuminta ijin kepada anakku untuk berangkat diklat.
Putriku dikarunia keterampilan
lebih dalam kosakata dan bertutur sehingga dalam usianya sudah banyak kosakata
dan mampu menjawab dan menimpali pembicaaan saat ia diajak ngobrol. Masih dalam
kata-katanya yang belum jelan mengucapkan huru R dia bilang boleh saat kuminta
ijin berangkat diklat. Dia malah balik bertanya “Kia diajak engga? Mama sama siapa?”
Dengan perasaan bimbang, dan ada
rasa bersalah aku berangkat. Tentunya sudah kupinta restu suamiku agar semua
diridhoi sang Khalik atas apa yang kulakukan. Berangkatlah aku dan sungguh
putriku yang menggemaskan dengan pipinya seperti bakpao seperti sedih saat
kuberpamitan. Namun dia tak menangis, tapi dari matanya seolah inggin bilang
“Kia ikut Maa…” dan putriku melambaikan tangan mungilnya tanpa kata dan senyum.
Dalam satu minggu aku jauh dari
putriku aku selalu ingat bagaimana dia makan, bagaimana dia yang biasanya
kususui sekarang digantikan susu formula yang sering dia kadang enggan
meminumnya. Terkadang terpikir apa yang kulakukan adalah salah. Setiap malam
seusai kegiatan diklat yang padat, kusempatkan bervideo call dengan suamiku,
tetapi berat rasanya ketika ingin bervideo call dengan putriku melalui
smartphone tantenya. Berat rasanya, seandainya justru malah aku membuat putriku
teringat padaku dan membuatnya tidak nyenyak tidur ingin meminta ASI. Di hari
ketiga diklat baru kami bertiga, aku, suamiku dan putriku bervideo call, dan
kata pertama yang anakku bilang adalah “Mama pulang…” Duh, sekilas hatiku
menjadi berat sekali lalu bulir-bulir air mata hangat meleleh mebasahi pipiku
yang rindu ciuman mungil bibir putriku.
Namun inilah dinamika kehidupan
seorang wanita yang bekerja, yang harus rela membagi waktunya yang berharga
dengan putrinya dan suaminya untuk meningkatkan profesionalisme karier
pekerjaannya. Pekerjaanku yang mulia, tidak hanya kudedikasikan untuk negara,
bangsa dan agamaku tetapi juga untuk keberkahan rizki keluargaku, kesholehahan
untuk putriku dan kepada murid-murid yang jika bukan guru yang memperhatikan
hak mereka siapa lagi.
Sepulang aku dari seminggu diklat
di Jakarta, meninggalkan putriku yang setiap hari lekat menempel padaku jika di
rumah, membuatku menjadi Ibu yang sungguh mensyukuri diberikan keluarga ini.
Meski suamiku jauh disana, meski hari-hariku juga bekerja, tetapi putriku bisa
tumbuh menjadi pribadi yang sholihah dan cerdas membuatku sungguh mensyukuri
nikmat Ilahi dan mungkin inilah keberkahan yang dijanjikan.
Sungguh ajaib juga setelah seminggu
berpisah denganku putriku enggan menyusu lagi. Dia mau makan banyak dan minum
susu. Makananya macam-macam tidak lagi satu dua makanan manis saja yang dia
suka, tetapi berbagai sayuran juga dia mau. Padahal sebelumnya susah sekali
untuk menyuapkan sayuran kedalam mulutnya. Ada-adanya pasti dimuntakan atau
ditepak dengan tanganya yang gesit dan mungil.
Ekspresi anakku saat pertam kali
melihatku di depan pintu sungguh menjadi pemandangan yang sangat kuingat dan
tidak kulupa. Ia melonjak-lonjak, kedua tanganya diayun-ayun ke atas seperti
orang Jepang berkata “Bansai”. Hanya saja putriku tidak berkata Bansai tetapi
berkata “Horeee… mama pulang…Ye..ye.. mama pulang…Ye..ye mama pulang” Begitu
berulang-ulang kemudian menghambar kepelukanku dan bilang, “Mamaa bawa apa?”
Owalah, ternyata ia selalu diceritakan oleh neneknya kalau mama pulang bawa
oleh-oleh jadi mesti sabar menunngu kepulangan. Dan lucunya sampai sekarang
setiap aku pulang kerja yang pertama ditanyakan adalah “Mama bawa apa?” dan
sekarang juga punya kebiasaaan baru bertanya setelah itu “Mama capek? Sini Maa
bobo sama Kia” sambil dengan tangan mungilnya menyentuh pipiku yang dahulu
dilelehi air mata,
__0__
25 Komentar
Tetap semangat sayang,,,semua yg dituliskan disini pernah saya alami. Tetaplah menjadi pribadi byg kuat. Salam kenal
BalasHapusTerimakasih bu. Salam kenal. Semoga selalu berkah bu
HapusItulah dinamika kehidupan ibu rumah tangga yg berkarier bu. Salam semangat dan sehat bu
BalasHapusTerimakasih bu. Amiin, selalu semangat dan berkah untuk setiap langkah,
Hapussemangat ya bund, segala sesuatu itu perlu perjuangan dan pengorbanan. Jangan pantang mundur, terus maju tanpa ragu.
BalasHapusTerimakasih kasih banyak semangatnya.
Hapushidup para ibu!
BalasHapussemangat bund
Semangat....
HapusSemangat Bund. . Tetap berjuang sebagai ibu dan guru hebat. Semoga lelah menjadi Lillah 😊
BalasHapusAamiin. Aamiin. Aamiin
HapusSungguh sebuah kedamaian hati yang dituliskan sepenuh hati. Salut, Bu!
BalasHapusMatur nuwun, terimaksih banyak pak.
HapusSungguh sebuah kedamaian hati yang dituliskan sepenuh hati. Salut, Bu!
BalasHapusIsi tulisannya bagus sangat menginspirasi sedikit masukkan kiranya
BalasHapus1. Sebelum di posting sebaiknya dibaca kembali untuk mengurangi salah ketik pada tulisan.
2. Paragraf nya kalau bisa diperpendek jadi kalau membaca kita pakai hp tidak terlalu jenuh.
Maaf ya sudah ngasih masukkan
Duh, masih banyak typo. Terimakasih banyak atas masukannya. insyaallah menjadi pelajaran buat kedepannya.
HapusSemangat bu, pengalaman sama. Badai pasti berlalu
BalasHapushuhu.... siap bu
HapusSalut akan perjuanganmu.. semoga murid2 ibu mengantar ibu ke surga kelak..
BalasHapusAamiin, Aamin bu...
HapusSemoga perjuangan mendidik anak2 berkebutuhan khusus menjadi ladang amal ibadahnya buk....
BalasHapusAmiin pak.
HapusTuliskannya menghanyutkan, memuat pembaca bisa merasakan apa yang dirasakan penulis, mantaappp!!
BalasHapusterimakasih sudah berkunjung ke laman yang sederhana ini.
HapusSemangat ibu... luar biasa... sungguh ladang amal yang tidak semua orang sanggup dan hanya sedikit orang di dunia ini memiliki keahlian di bidang tersebut.
BalasHapusSaya adalah seorang kakak Dari adik Yang sekolah di SLB. Terimakasih kepada semua guru SLB yg pastinya super sabar. Insyaallah keberkahan akan didapat dari keikhlasan mendidik anak-anak SLB.
BalasHapus