Senyummu Kekuatanku

 


Oleh Heri Setiyono, S.Pd

Ibu, bagaimana kabarmu? Masihkah kakimu sakit karena rematik yang terkadang datang tanpa diundang. Ibu, seminggu berpisah denganmu mengapa hadirmu demikian kurindu. Ibu, maafkan anakmu yang belum bisa berbuat banyak untukmu sedikit saja istirahat, menyeduh teh hangat dan menikmati masa senjamu. Maafkan anakmu yang belum bisa selalu berada di sisimu. Tapi sungguh Ibu, kau selalu tersenyum dan itu madu untukku.

Masih kuingat dahulu Ibu, ketika kau masih setia bangun pagi membangunkanku shalat subuh. Aku tahu dirimu telah dahulu menunaikan shalat tahajud memanjatkan doa menghadap kepada Sang Khalik. Dalam doamu aku tahu engkau berurai air mata. Aku pernah menyaksikannya dan bertanya-tanya dalam hati mengapa engkau menangis. Tetapi, otakku yang masih kanak-kanak tak mampu mengurainya. Aku hanya berpikir aku selalu membuatmu sedih dengan selalu merengek dibelikan ini itu kebutuhan sekolahku, sedangkan engkau hanya tersenyum dan menyabarkan hatiku. Kau pasti menangis karena aku kelewatan meminta padahal untuk beras makan sehari pun kita menghemat-hemat. Ahh, betapa aku kelewat keterlaluan selalau merengek kepadamu.

Tetapi, ketika kutanyakan itu kepadamu ibu. Mengapa dirimu menangis. Dirimu tersenyum dan menjawab bahwa menangis karena sangat menyayangiku, menangis mendoakanku selalu sehat, menangis agar kelak aku hidup disayang Allah. Aku, sayang kau Ibu. Kupeluk Kau erat.  Hingga saat inipun masih kuingan aromamu yang membuatku selalu tegar. Ibu Aku merindukan saat itu. Senyumanmu yang demikian tulus, murni pengejawantahan syurga dalam hidupku.

Satu yang selalu membuatku  pilu. Ibu saat subuh itu kau bangun, menyalakan api dan memasak air seperti biasa. Ketika kau memulai menuang teh ke dalam gelas, kau pun terduduk kemudian menitihkan air mata. Ada hal yang hilang saat itu dari kita. Kebiasaan yang biasa kau lakukan itu ada yang kurang. Tidak ada sayup suara bapak yang biasa mendaras Al Qur’an.  Al Qur’an yang biasa setiap pagi dibaca bapak selalu menemanimu kini tidak ada. Bapak berpulang. Tulang punggung yang menopang keluarga kita tidak ada lagi terenggut oleh kecelakaan kerja.  

Akan tetapi, Ibu dirimmu tidak pernah menampakkan pilu dihadapan kami, keempat anakmu. Senyummu adalah syurga yang menguatkan hati kami. Peraduan keceriaan kami dalam himpitan hidup yang terkadang tidak selalu menyenangakan.

Ibu dalam kenanganku aku selalu melihatmu teguh mengasuh keempat anakmu. Kepergiaan bapak menjadi pukulan berat bagimu. Namun, tak kau getarkan pilumu karena kau ingin kami tetap tegar dalam menajalani esok. Beras yang tinggal sebantar lagi habis padahal sudah kau hemat-hemat kal itu. Uang yang tidak seberapa yang keluarga kita punya. Dan tidak ada family  yang dapat kita mintai tolong karena kesemuannya terhimpit masalah  ekonomi yang  sama, kemiskinan. Aku tergerak menjadi dewasa karena itu.

Saat itu awal bagiku yang masih canggung, sebagai anak pertamamu untuk mengambil bagian memikul tanggung jawab.  Aku harus bekerja, pikirku saat itu. Tetapi sulit bagi anak seuisiaku mencari pekerjaan. Hingga akhirnya bekerjalah aku kepada keluarga tionghoa yang menjadi batu loncatan hingga akhirnya aku bisa mengangkat derajat keluarga. Karena semangatmu ibu, aku tidak pernah lelah untuk terus memupuk mimpi. Hingga akhirnya aku bisa sekolah, kuliah dan kini menjadi seorang guru.

Ibu, di masa rentamu kini masih saja aku menyusahkanmu, namun tetap saja kau murah senyum dan sabar. Maafkan aku Ibu, karena pekerjaanku, kau akhirnya harus membantuku mengasuh cucumu.  Aku percaya denganmu Ibu karena darimulah aku mengenal kasih sayang yang luas melebihi samudera. Selama satu minggu ini aku sangat merindukanmu. Tidak melihatmu sehari saja membuatku ingin pulang. Kemewahan fasilitas pendidikan dan pelatihan guru selama seminggu ini  tak bisa menggantikan bagaimana aku merindukan rumah.

Harapanku saat ini adalah bisa menjaga dan merawatmu. Inginku memberimu hadiah yang selalu kau harap dalam doamu sedari dulu. Aku ingin bisa menghadiahkan umroh kepadamu. Melihatmu tersenyum bahagia karena harapanmu selama ini untuk mengunjungi Kakbah bisa terwujud. Harapan untuk bisa sekali saja dalam hidupmu mengunjungi rumah Allah itu selalu menggurat senyum untukku. Aku ingin mewujudkanya. Ibu kukirim rindu dalam doa-doa yang selalu kupanjatkan setiap sujudku. Selalu sehat dan tersenyumlah bu, karena senyumanmu adalah semangatku.

Heri Setiyono, S.Pd anggota PGRI dengan NPA 10094000266

0 Komentar