Oleh : Heri Setiyono, S.Pd
Jikalau aku tahu dia hanya bercanda seharusnya aku tertawa
bukan jatuh cinta. Segalanya terlambat ketika perasaan sudah terikat dalam
jeratnya.
Seminggu ini entah mengapa ada rasa malas setiap ingin ke
sekolah, tempat dimana aku bekerja sebagai
guru honorer. Bukan perkara gaji yang ala kadarnya atau kondisi badan
yang agak turun kala musim hujan mencapai puncaknya. Lebih kepada aku malas berjumpa
rekan kerjaku yang bernama Ana. Ia lah yang seenaknya mempermainkan perasaanku.
Mungkin aku orang yang mudah jatuh cinta. Sampai-sampai
jatuh cinta kepada rekan kerjaku sendiri. Hal yang semestinya dihindari agar
bekerja tidak menjadi loyo jika ada masalah seperti ini.
Beberapa bulan lalu Ana selalu dekat denganku. Bodohnya aku
malah menjadi menaruh hati kepadanya. Herannya mengapa dia sepertinya sengaja
membuka hatinya untukku. Jika di akhir cerita aku yang menenggung nelangsa
mengetahui dia sudah memiliki pendamping hidup. Sungguh gila dan aku
menyesalinya.
Karena hal itulah aku menjauh dari Ana. Merusak hubungan
orang sungguh celaka hukumnya. Aku lebih menarik diri ketika di sekolah. Mengurung
diri di perpustakaan membaca apapun itu, merapikan buku dan sebagainya. Herannya
malah pengunjung perpustakaan menjadi lebih banyak. Pupuslah harapanku untuk
mengucilkan diri karena anak-anak tidak hentinya mengunjungi perpustakaan. Buku-buku
menjadi lebih terawat semenjak aku mengggunakan perpustakaan sebagai pelarian.
Bebeberapa tahun berlalu secepat cerita ini ditulis. Aku menjadi
kepala sekolah sekarang. Namun aku masih membujang. Di usiaku yang semestinnya
sudah berputra, aku masih melajang. Seperti ada rasa trauma dalam menjalin
hubungan cinta. Aku lebih mengalihkan diri kepada karier dan study. Aku menjadi
diterima sebagai pegawai negeri, mendapatkan beasiswa study master doctoral dan
kini didapuk sebagai kepala sekolah. Alasannya sepele, tidak ada yang mau
menjadi kepala sekolah. Adapun yang berkemauan justru pangkatnya belum memenuhi
syarat. Maka akulah kepala sekolah termuda yang ada.
Meski karier kupunya, materi juga berkecukupan tanpa
kekurangan seperti waktu honorer dulu, ada yang kurang dalam hidupku. Cinta. Rumah
masih berantakan seperti anak kos saja tanpa sentuhan perempuan yang ada
disana. Hampa.
Beberapa prestasi mengantarkanku menjadi ketua musyawarah
kelompok kepala sekolah. Entah mengapa karierku demikian mulus. Meski terkadang
ada saja orang yang mennggodaku karena masih melajang. Tidak jarang pun rekan kepala
sekolah menyindirku untuk segera mencari jodoh.
Ohh, bukannya aku tak mencari tapi entah mengapa beberapa
orang justru menjadi segan mendekatiku. Tidak terkecuali setiap perempuan yang
kucoba dekati. Sungkan, segan dan kaku menjadikan suasana tak nyaman. Akupun menyadari
itu. Aku memang sedikit canggung.
Suatu ketika aku bertemu dengan salah satu mantan muridku
dahulu ketika honorer. Dia adalah anak yang rajin. Anak kelas akhir yang suka
sekali membaca di perpustakaan. Aku bertemu dengannya di sebuah kegiatan
seminar dan ia menjadi salah satu panitianya. Seorang mahasiswa. Sungguh berbeda
sekali dengan dahulu ketika menjadi muridku. Entah kenapa ia mengenalku,
menyapaku lebih dahulu. Apa karena wajahku tidak berubah beberapa tahun
berlalu. Oh mungkin saja, bukannya guru selalu awet muda.
Dari pertemuan itu entah mengapa berlanjut saling bertukar
no whatsapp. Basi-basi dalam chat dan ia memohon bantuanku untuk penelitian
tugas akhirnya. Akupun tidak ragu membantunya, terlebih aku memang menyukai
kemajuan pendidikan di daerahku melalui riset.
Entah dipetemukan dan dibimbing oleh tangan takdir atau memang waktu yang
membuat kami akhirnya selalu bersama. Kini ia menjadi isteriku. Jangan kau tanya
berapa selisih umurku dengannya, lebih dari sepuluh tahun tak kurang.
Kini aku telah utuh dalah hdup. Memiliki pasangan hidup
adalah berkah yang menyenangkan, meskipun terkadang harus menunggu. Tapi masa
menunggu itulah yang perlu dipersiapkan. Aku menyadari, jika aku mungkin tidak
sakit hati karena candaan yang kuanggap keseriusan kala dahulu mungkin aku
tidak akan berada di titik ini.
…
0 Komentar